Powered By Blogger

Jumat, 16 Maret 2018

PSIKOLOGI INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS “TUNANETRA”


A.    SEJARAH DAN DEFINISI
Kata “tunanetra” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “tuna” yang artinya rusak atau cacat dan kata “netra” yang artinya adalah  mata atau penglihatan, jadi tunanetra adalah rusak penglihatan secara total. Orang yang tunanetra belum tentu mengalami kebutaan tetapi orang buta sudah pasti tunanetra. Scholl dalam Hidayat dan Suwandi (2013) mengemukakan bahwa orang yang memiliki kebutuhan menurut hokum legal blindness apabila ketajaman penglihatan sentralnya 20/200 feet atau kurang pada penglihatan terbaiknya setelah dikoreksi dengan kacamata atau ketajaman penglihatan sentralnya lebih dari 20/200 feet. Tetapi ada kerusakan pada lantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari 20 derajat pada mata terbaiknya.
Berdasarkan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tunanetra tergolong menjadi dua kelompok, yaitu tunanetra dengan buta total dan tunanetra yang memiliki keterbatasan pengelihatan. Dan juga ada seseorang yang mengalami kebutaan sejak lahir ataupun mengalami kecelakaan, pertambahan usia atau tidak sejak lahir. Pada tahun 1784, Lembaga bagi Anak Tunanetra (Institution for Blind Youth), sekolah pertama bagi para tunanetra, didirikan di Paris. Pada awal tahun 1800an, Louis Braille, seorang tunanetra berkebangsaan Perancis, mengembangkan sistem braille saat ini, sebuah sistem perabaan untuk membaca dan menulis yang menggunakan enam titik braille yang timbul. Pada tahun 1829 , Rumah Sakit New England bagi Tunanetra / the New England Asylum for the Blind (sekarang menjadi Sekolah Perkins bagi Tunanetra / the Perkins School for the Blind ), sekolah pertama bagi tunanetra, didirikan di Amerika Serikat dan yang menjadi direktur pertamanya adalah Samuel Gridley. Lembaga New York bagi Tunanetra serta Lembaga Pennsylvania bagi Instruksi untuk Tunanetra didirikan sekitar tahun 1832. Biasanya hanya anak - anak dari keluarga kaya yang mampu mengikuti pendidikan pada sekolah - sekolah asrama swasta ini.


B.     PREVALENSI
Pada tahun 2016/2017 jumlah tunanetra di Indonesia di seluruh Sekolah Luar biasa adalah berjumlah ;
·         Sekolah Negri             : 1591 Siswa
·         Sekolah Swasta           : 2107 Siswa
·         Jumlah                         : 3698 Siswa
C.    PENYEBAB
Menurut Hidayat dan Suwandi, (2013) faktor penyebab tunanetra bisa terjadi pada saat dalam kandungan. Keadaan ini terjadi dengan faktor utama keturunan contohnya terjadi perkawinan antar keluarga dekat atau sedarah dan perkawinan antar tunanetra. Selain faktor kandungan bisa juga karena terkena penyakit seperti virust rubella/campak jerman, glaucoma, retinopati diabetes, retinoblastoma dan kekurangan vitamin A.
Sedangkan menurut Pradopo (1997) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan seseorang menderita tunanetra, antara lain :
b)      Faktor endogen, merupakan faktor yang sangat erat dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan atau yang disebut juga dengan faktor genetic. Ciri-ciri yang disebabkan oleh faktor keturunan adalah bola mata yang normal tetapi tidak dapat menerima energi positif sinar atau cahaya, yang kadang-kadang seluruh bola maanya tertutup oleh selaput putih atau keruh.
b)      Faktor eksogen atau faktor luar yaitu :
·         Penyakit yaitu virus rubella yang dapat menyebabkan campak pada tingkat akut yang ditandai dengan kondisi panas yang meninggi akibat virus yang lama kelamaan akan menggangu saraf penglihatan fungsi indra yang akan menjadi permanen, ada juga yang diakibatkan oleh kuman syphilis, perapuhan pada lensa mata yang mengakibatkan pandangan menjadi mengeruh.
·         Kecelakaan fisik akibat tabrakan atau jatuh yang berakibat langsung merusak saraf netra atau akibat rusaknya saraf tubuh yang lain atau saraf tulang belakang yang berkaitan dengan fungsi saraf netra, terkena radiasi ultra violet atau gas beracun yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan fungsi mata untuk melihat
D.    IDENTIFIKASI
Menurut Irham Hosni, ketunanetraan bisa terjadi sejak lahir maupun setelah lahir. Hal ini akan mempengaruhi dalam pemenuhan kebutuhannya. Dalam terjadinya kerusakan visual, dapat melihat dari dua faktor, yaitu faktor usia dan saat terjadinya kerusakan penglihatan dan bagaimana terjadibta kerusakan penglihatan. Kedua faktor tersebu menyebabkan pengaruh yang berbeda terhadap siri tunanetra.
Menurut Irham Hosni, tunanetra yang kehilangan penglihatannya sebelum usia 5 tahunn atau usia 7 tahun akan kehialangan gambaran visual sehingga anak tersebut akann menggantungkan dirinya pada indera non visual. Sedangkan tunanetra yang kehilangan peglihatannya setelah umur 7 tahun mereka masih dapat mengingat visual dan warna sehingga masih dapat dimanfaatkan dalam proses belajarnya,. Akan tetapi anak tersebut tidak mampu mengadakan pengamatan visual yang baru (B. Lowenfield dalam Irham Hosni)
Penyebab terjadinya kerusakan ppenglihatan akan menimbulan pengaruh yang berbeda. Misalnya, kerusakan penglihatan yang terjadi secara mendadak yang diakibatkan oleh kecelakaan akan menyebabkan seseorang merasa jiwanya tergoncang atau goncangan sosial yang lebih berat dibandingkan dengan seseorang yang mengalami kerusakan penglihatan sejak lahir.
E.     KARAKTER PSIKOLOGI DAN PERILAKU
Menurut Widjaya (2013) Pada individu berkebutuhan khusus yang menyandang tuna netra,  terdapat beberapa karakteristik yang dapat dijadikan ciri-ciri mengapa disebut tuna netra. Karakteristik tersebut meliputi karakter kognitif,  akademik,  sosial dan emosional,  serta perilaku.
1. Karakteristik kognitif
   Lowenfeld menggambarkan damoak kebutaan dan low vision terhadap perkembangan kognitif, dengan mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak dalam tiga area berikut ini :
a)  Tingkat dan keanekaragaman pengalaman
Ketika individu mengalami ketunanetraan atau tidak dapat melihat (buta)  maka pengalaman atau pengetahuan mengenai apa saja yang ada di dunia dan yang ada disekitar kita diperoleh dari indera-indera yang masih berfungsi khususnya perabaan dan pendengaran.  Namun indera-indera tersebut tidak dapat secara cepat dan menguasai secara menyeluruh dalam memperoleh informasi, misalnya ukuran,  warna,  dan hubungan ruang, yang sebenarnya bisa diperoleh dengan benar dan tepat melalui pengelihatan. 
Tidak seperti halnya pengelihatan, ketika mengeksplorasi benda dengan perabaan merupakan proses dari bagian ke keseluruhan,  dan orang tersebut harus melakukan kontak dengan bendanya selama dia melakukan eksplorasi tersebut.  Beberapa benda mungkin terlalu jauh dari jangkauan seperti yang ada di langit diatas pohon dan sebagainya.  Bahkan terlalu besar seperti gunung, terlalu rapuh misalnya binatang kecil,  atau terlalu membahayakan seperti api.
b)  Kemampuan untuk berpindah tempat
            Pengelihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengab leluasa dalam suatu lingkungan,  tetapi tuna netra memlunyau keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut.  Keterbatasan tersebut mengakibatkan kesempatan kecil dalam memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh pada hubungan sosial.  Tidak seperti individu yang lainnya, anak tuna netra harus belajar cara berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan berbagau keterampilan orientasi dan mobilitas.
c) Interaksi dengan lingkungan
Meskipun individu yang tuna netra telah memiliki keterampilan mobilitas dari hasil belajar yang dilakukan,  namun keterampilan tersebut tetap membatasinya untuk mengetahui lingkungan sekitarnya, karena gambarang mengenai lingkungan tidak utus atau tidak sama seperti individu yang lainnya.
2. Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya terhadap pekembangan kognitif,  tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademis,  khususnya dalam bidang membaca dan menulis.  Maka dalam hal membaca dan menulis individu tuna netra akan belajar menggunakan alat untuk alternatif pembantu yaitu hufmruf braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran
3. Karakteristik 5(Sosial:) dan Emosional
Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi terhadap kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya.  Perbaikan biasanya dilkukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan meminta masukan dari orang lain yang berkompeten.  Karrns tuna netra mempunyai keterbatan dalam belajar melalui pengalaman dan menirukan,  siswa tuna netra sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. 
Sebagai akibat dari ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial,  siswa tuna netra harus mendapatkan pembelajaran yang langung dan sistematis dalam bidang pengembamgan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientaso wajah,  penampilan postur tubuh yang baik, mempergunakan geralan tubuh dan ekspresi wajah dengan benar,  mengekspresikan perasaan,  menyampaikan pesan yang terjadi pada waktu melakukan komunikasi serta mempergunakan alat bantu yang tepat.
Menurut Lewis V (2003) Dalam perkembangannya individu yang tuna netra dapat melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan cara menyentuh dan mendengar objeknya. Hal tersebut dilakukan karena tidak ada kontak mata,  penampilan ekspresi wajah yang kurang, dan kurangnya pemahaman tentang lingkungannya sehingga interaksi itu kurang menarik bagi lawannya.
f. Karakteristik Perilaku
Siswa tuna netra terkadang sering kurang memperhatikan kebutuhan sehari -harinya,  sehingga ada kecenderungan orang lain untuk membantunya.  Apabila hal ini terjadi maka siswa akan berkecenderungan berlaku pasif.  Beberapa siswa tuna netra sering menunjukkan perilaku stereotip sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya.  Sebagai contoh mereka sering menekan matanya,  membuat suara dengan jarinya. Nenggoyangkan kepala,  badan atau berputar-putar.  Ada beberapa teori yang mengungkap mengapa tuna netra kadang mengembangkan perilaku stereotipnya.  Hal ini terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak adanya rangsangan srnsoris,  terbatasnya aktifitas,  atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu,  misalnya memberikan pujian atau alternatif pengajaran,  perilaku yang lebih positif dan sebagainya.  Kantor

F.     PERTIMBANGAN PENDIDIKAN
 Kebutuhan Pendidikan
Kehilangan penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit dalam melakukan mobilitas, artinya sulit untuk bergerak , dari satu tempat ketempat lainnya yang diinginkan . Oleh karena itu, kepada mereka perlu diberikan suatu keterampilan khusus , agar dapat melakukan mobilitas dengan cepat , tepat dan aman bagi anak yang tergolong buta sisa penglihatannya tidak lagi digunakan untuk membaca huruf awas sehinga bagi mereka digunakan  huruf Braille.
Adanya keterbatasaan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena memiliki hambatan maka selain membutuhkan layanan pendidikan umum sebagai mana halnya anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya.
2.    Layanan Pendidikan Bagi Anak Tunanetra
Layanan pendidikan bagi anak tunanetra pada dasarnya sama dengan layanan pendidikan bagi anak awas hanya dalam teknik penyampaiannya disesuaikan dengan kemampuan dan ketidak mampuan atau karakteristik anak tunanetra.
a.    Jenis Layanan
Ditinjau dari segi jenisnya, layanan pendidikan bagi anak tunanetra meliputi layanan umum dan layanan khusus.
 Layanan umum
Latihan yang diberikan terhadap anak tunanetra, umumnya meliputi hal-hal berikut:
·         Keterampilan
·         Kesenian
·         Olahraga

 Layanan khusus/layanan rehabilitasi
Layanan khusus /rehabilitasi yang diberikan terhadap anak tunanetra, antara lain sebagai berikut:
  latihan membaca dan menulis braille
  latihan penggunaan tongkat
  latihan orientasi dan mobilitas
  latihan visual/fungsional penglihatan
b.   Tempat /Sistem Layanan
 Tempat khusus/ sistem segregasi
Tempat pendidikan melalui sistem segregasi bagi anak tunanetra adalah berikut ini:
a)    Sekolah khusus
Sekolah khusus yang konvensional adalah Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra (SLB bagian A). Sekolah ini memiliki kurikulum tersendiri yang dikhususkan bagi anak tunanetra.
b)   Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB yang dimaksudkan disini berbeda dengan SDLB yang ada dalam kurikulum 1994. SDLB yang dimaksud dalam kurikulum tersebut, diperuntukkan bagi satu jenis kelainan, yaitu anak tunanetra saja, sedangkan dalam konsep SDLB ini merupakan suatu sekolah pada tingkat dasar yang menampung berbagai jenis kelainan, seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa.
c)    Kelas jauh/kelas kunjung
Kelas jauh/kelas kunjung adalah kelas yang dibentuk untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak luar biasa termasuk anak tunanetra yang bertempat tinggal jauh dari SLB/SDLB.
 Sekolah biasa/sistem integrasi.
Penyelenggaraan sistem pendidikan terpadu memerlukan seorang ahli ke-PLB-an yang disebut Guru Pembimbing Khusus (GPK),dan ruang bimbingan khusus untuk memberikan layanan khusus bagi anak tunanetra.
Melalui sistem integrasi/terpadu, anak tunanetra belajar bersama-sama dengan anak normal (awas) dengan memperoleh hak kewajiban  yang sederajat. Sekolah dasar atau sekolah biasa lainnya yang menerima anak tunanetra (anak luar biasa pada umumnya) sebagai siswanya, disebut sekolah terpadu. Apabila disekolah tersebut tidak terdapat bagi anak luar biasa maka secara otomatis sebutan sekolah terpadu tidak berlaku lagi (kembali disebut sekolah dasar atau sekolah biasa lainnya). Melalui sistem pendidikan terpadu, anak tunanetra akan memperoleh keuntungan berikut:
a)    Memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan bersama-sama dengan anak awas lainnya.
b)   Kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi lingkungan dengan membiasakan diri berinteraksi dengan teman-temannya yang awas.
Bentuk keterpaduan dalam sistem pendidikan integrasi, sangat bervariasi. Kirk & Gallagher (1989:61-62) mengemukakan bentuk-bentuk keterpaduan/integrasi yang meliputi:
·         Bentuk kelas biasa dengan guru konsultasi (regular classroom with consultant teacher)
·          Kelas biasa dengan guru kunjungan (itinerant teacher)
·          Kelas biasa dengan ruang sumber (resource room) atau ruang bimbingan khusus
·         Kelas khusus (special class)
c.    Ciri Khas Layanan
Hal-hal yang khas dalam pendidikan anak tunanetra adalah berikut ini:
1)   Penempatan anak tunanetra
Dalam menempatkan anak tunanetra, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
 Anak tunanetra ditempatkan didepan, agar dapat mendengarkan penjelasan guru dengan jelas.
 Memberikan kesempatan kepada anak tunanetra untuk memiliki tempat duduk yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya
 Anak tunanetra hendaknya ditempatkan berdekatan dengan anak yang relatif cerdas, agar terjadi proses saling membantu.
 Tidak diperkenankan dua anak tunanetra duduk berdekatan, agar lebih terintegrasi dengan anak awas.
2)   Alat peraga yang digunakan hendaknya memiliki warna yang kontras. Pada alat peraga bahan cetakan, antara tulisan dan warna dasar kertas harus kontras.
3)   Ruang belajar bagi anak tunanetra terutama anak low vision cukup mendapatkan cahaya/penerangan.

d.   Strategi dan Media Pembelajaran
a)    Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran tersebut berjalan dengan efektif dan efisien.
Dalam proses pembelajaran, dapat digunakan berbagai macam strategi pembelajaran yang didasarkan pada pertimbangan tertentu, antara lain berikut ini:
1)   Berdasarkan pertimbangan pengolahan pesan terdapat dua macam strategi pembelajaran, yaitu deduktif dan induktif.
2)   Berdasarkan pihak pengolah pesan, terdapat dua strategi pembelajaran, yaitu ekspositorik dan heuristik.
3)   Berdasarkan pertimbangan pengaturan guru, ada 2 macam strategi, yaitu strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu (team teaching).
4)   Berdasarkan pertimbangan jumlah siswa, terdapat strategi pembelajaran klasikal, kelompok kecil, dan individual.
5)   Berdasarkan interaksi guru dan siswa, terdapat strategi pembelajaran tatap muka, dan melalui media.
Di samping strategi yang telah dijelaskan diatas, ada strategi lain yang dapat diterapkan dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu:
·         Strategi individualisasi,
·         Kooperatif, dan
·         Modifikasi perilaku
Permasalahan dalam strategi pembelajaran anak tunanetra adalah bagaimana upaya guru dalam melakukan penyesuaian (modifikasi) terhadap semua komponen dalam proses pembelajaran sehingga pesan maupun pengalaman pembelajaran menjadi sesuatu yang dapat diterima/ditangkap oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih berfungsi, yaitu indera pendengaran, perabaan, pengecapan, serta sisa penglihatan (bagi anak low vision).
Permasalahan lainnya adalah bagaimana guru membiasakan dan melatih indera yang masih berfungsi pada anak tunanetra agar lebih peka dalam menangkap pesan pembelajaran.
Agar lebih mudah melakukan modifikasi dalam strategi pembelajaran anak tunanetra, guru harus memahami prinsip-prinsip dasar dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu sebagai berikut.
(1)      Prinsip individual
Prinsip individual, mempunyai pengertian bahwa dalam proses pembelajaran, seorang guru harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individu.
(2)      Prinsip kekonkretan/pengalaman penginderaan langsung
Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran yang digunakan guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya.
(3)      Prinsip totalitas
Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran yang dilakukan guru harus memungkinkan anak tunanetra memperoleh pengalaman objek atau setuasi secara total atau menyeluruh.
(4)      Prinsip aktivitas mandiri (self activity)
Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa memperoleh kesempatan untuk belajar secara aktif dan mandiri. Dengan demikian, guru berfungsi sebagai fasilitator, yang membantu kemudahan siswa belajar dan motivasi, yang membangkitkan motivasi anak untuk belajar.
b)   Media pembelajaran
  Media pembelajaran merupakan komponen yang tidak dapat dilepaskan dari suatu proses pembelajaran karena keberhasilan proses pembelajaran tersebut, salah satunya ditentukan oleh penggunaan komponen ini.
Menurut fungsinya, media pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua kelompok sebagai berikut.
·         Media yang berfungsi untuk memperjelas penanaman konsep, yang sering disebut sebagai alat peraga.
·         Media yang berfungsi untuk membantu kelancaran proses pembelajaran itu sendiri yang sering disebut sebagai alat bantu pembelajaran.
Berikut ini akan dijelaskan jenis-jenis alat peraga dan alat bantu pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran anak tunanetra.
1)      Alat peraga
a)      Objek atau situasi yang sebenarnya.
Contohnya, objek yang sebenarnya: tumbuhan dan hewan asli/sebenarnya.
b)      Benda asli yang diawetkan, contohnya binatang yang diawetkan.
c)      Tiruan (model), yang terdiri dari model tiga dimensi dan dua dimensi.
·         Model/tiruan 3 dimensi memiliki dimensi panjang, lebar, dan tinggi (memiliki volume) sehingga bentuknya hampir sama dengan objek sebenarnya, akan tetapi sifat substansi, permukaan, dan ukuran ada kemungkinan tidak sama.
·         Model dua dimensi, yaitu dimensi panjang dan lebar.
2)      Alat bantu pembelajaran
Alat bantu pembelajaran yang dapat digunakan oleh anak tunanetra, antara lain berikut ini.
·         Alat bantu untuk baca-tulis,
·         Alat bantu untuk membaca (bagi anak low vision),
·         Alat bantu berhitung,
·         Alat bantu audio yang sering digunakan oleh anak tunanetra.
G.    PENILAIAN KEMAJUAN
Para penyandang tuna netra juga berhak untuk menerima pengajaran dan pembelajaran,  agar meskipun mereka tidak memiliki pengelihatan mereka tetap bisa menerima hak yang sama seperti anak yang normal.  Berbagai strategi pengajaran disusun khusus untuk penyandang tuna netra.  Misalnya seperti yang dikemukakan Ardhi Wijaya (2013) strategi pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan merupakan rekayasa dan rencana yang cermat mengenai proses interalai antara siswa tunanetra dan lingkungannya,  dan atau proses penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa yang dirancang untuk mendorong,  menggiatkan, mendukung dan memungkinkan terjadinya anak tuna netra belajar membaca dan menulia Braille permulaan,  sehingga terjadi perubahan perilaku anak tuna Netr yaitu memiliki kecakapan dalam membaca dan menulis Braille.
Metode khusus yang dilakukan untuk penyandang tuna netra telah di modifikasi terhadap cara dan alat membaca dan menulis Braille.  Pada waktu mengajarkan titik-titik Braille tidak langsung pada alat tulis Braille yaitu reglet dan penanya atau "stylus" tetapi menggunakan papan huruf atau bacaan terkadang disebut juga "Reken Plank". Dengan Reken Plank tersebut anak tuna netra dikenalkan posisi enam titik Braille baik dalam posisi horizontal maupun vertikal.  Papa baca reken plank selain digunakan untuk memperkenalkan titik-titik Braille juga dapat digunakan untuk melatih kepekaan diri aktual siswa tuna netra.
Melalui program orientasi dan mobilitasi diharapkan anak tuna netra akan memiliki motivasi,  kemauan,  dan kemampuan untuk melakukan berbagai aktivitas baik di lingkungannya secara cepat,  tepat,  luwes,  aman,  dan tidak terlalu tergantung kepada orang lain. Tanpa penguasaan keterampilan orientasi dan mobilitas,  maka anak tuna netra akan bersifat pasif,  diam di tempat,  kurang percaya diri,  dan ketakutan akan banyak hal sehingga akhirnya akan berpengaruh terhadap aspek pertumbuhan dan perkenbangannya. Berkaitan dengan program orientasi dan mobilitas yang terencana dan sistematis bagi anak tuna netra,  sejauh ini sekolah luar biasa merupakan satu-satunya tempat yang paling strategis untuk melakukan hal itu.  Namun dalam pelaksanaanya sekolah luar biasa mengalami fenomena yang kurang sesuai.
Untuk mengetahuu tercapainya tujuan instruksional yang diharapkan guru maka setiap akhir tahun ajaran diadakan evaluasi yang tujuannya untuk mengetahui hasil belajar siswa.  Menurut pendapat Winarno (Widjaya, 2013) menyatakan "hasil belajar adalah prosea kedewasaan manusia yang hidup dan berkembang, manusia yang selalu berubah dan perubahan itu merupakan hasil belajar". Sedangkan menurut Gagne (Widjaya, 2013) hasil belajar berupa kapabilitas.  Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan,  sikap dan nilai.
Jadi hasil belajar merupakan proses perkembangan manusia kearah dewasa berupa keterampilan,  pengetahuan,  sikap, dan nilai setelah belajar di sekolah.  Hasil belajar yang diperoleh dari belajar berupa nilai dalam bentuk skor dan perubahan tingkah laku,  merupakan salah satu indikator yang dijadikan pedoman untuk mengetahui kemajuan yang diperoleh di sekolah. Hasil yang diharapkan bukan berupa pengetahuan,,  tetapi juga sikap pemahanan,  perluasan minat,  penghargaan,  norma-norma, kecakapan,  juga meliputi pribadi anak.  Menurut Muhammad Ali (Widjaya, 2013) ciri suatu tingkah laku sebagai hasil belajar yaitu :
1) relatif permanen
2) akibat interaksi dengan lingkungan yang dilakukan dengan sengaja
3) bukan karena proses kematangan
4) tingkah laku tersebut dapat diulang-ulang dengan hasil yang sama
H.    INTERVENSI AWAL
Intervensi dini menjadi salah satu cara yang baiknya dilakukan orangtua pada anak mereka yang mengalami masalah atau berkebutuhan khusus. Intervensi dini biasanya dilakukan pada anak usia sekolah atau bisa juga dilakukan pada anak yang lebih kecil usianya untuk dideteksi apakah mengalami resiko kondisi perkembangan yang tidak sesuai usia atau berbagai kebutuhan khusus lainnya.
Intervensi diartikan egala langkah dan tindakan yang lebih baik dari cara-cara yang bersifat konvensional;sehngga kadang – kadang hanya tampak sebagai prinsio – prinsip umum yang berlaku dalam berbagai situasi. Interveni dapat memperbaiki masalah-masalah perkembangan yang ada dan mengantisipasi (sifatnya preventif). Intervensi bisa dilakukan bila telah diadakan identifikasi. Untuk itu, perlu diadakan observasi, dilakukan oleh beberapa profesional dari segala sisi disiplin ilmu – untuk menentukan jenis intervensi yang akan dilaksanakan. Semua langkah intervensi harus dilaksanakan konsisten, perlu waktu sehingga memerlukan kesabaran dari orangtua. Apa pun intervensi yang telah disepakati, biasanya memerlukan waktu dan perlu persiapan mental dari semua pihak. Konsistensi, kesabaran dan berdoa adalah hal utama yang harus dimiliki dan dilakukan orangtua sebagai faktor utama keberhasilan intervensi.
Intervensi dini adalah menelaah hambatan atau perkembangan anak pada usia dini, antara 0-2 tahun. Meneliti sejauh mana perkembangan anak ini masih masuk dalam kategori normal atau diluar dari yang normal. Secara psikologi, patokannya dapat dilihat dari bagaimana anak berinteraksi dengan orangtua, anak cepat tanggap merespon pada instruksi yang diberikan oleh orangtua. Juga dapat dilihat, apakah anak aman atau tidak, anak dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan sejauh mana perkembangan pertumbuhan anak. Identifikasi dan intervensi sangat penting dalam hal membantu meningkatkan dan mempertahankan kehidupannya. Setiap anak memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya namun itupun di sesusaikan dengan kondisi pshikisnya.
Manfaat intervensi dini sangat penting karena pendidik mampu menyesuaikan dengan kebutuhan anak secara individual. Intervensi dan pendidikan memberikan solusi agar anak bisa berkembang secara optimal misal dalam hal komunikasi belajar, aktif secara social dengan teman sebaya, dan bisa meningkatkan kemampuan – kemampuan sesuai langkahnya sendiri, meningkatkan dan memfasilitasi proses ini dengan menyediakan lingkungan yang mendorong pertumbuhan dan pembelajaran.
Salah satu langkah bantuan  yang tepat bagi anak yang mengalami hambatan perkembangan misalnya layanan intervensi dini yang dapat di lakukan orangtua pada anak antara lain instruksi khusus, terapi wicara, fisioterapi, nutrisi, pendidikan keluarga, layanan penglihatan teknologi penunjang, layanan kesehatan, layanan perawatan, audiologi, layanan psikologi, layanan diagnosa medis, layanan orthopedagog dalam pendekatan didaktisnya. Layanan-layanan tersebut dapat dilakukan di rumah, pusat terapi, rumah sakit.
I.       TRANSISI MENUJU TAHAP DEWASA
Sardegna (2002) menjelaskan bahwa tunanetra adalah individu yang kehilangan penglihatan karena kedua indera penglihatannya tidak berfungsi seperti orang awas. Tunanetra dibagi menjadi dua, yaitu buta (totally blind) dan low vision. Pada umumnya individu tunanetra juga memiliki hambatan dalam menerima informasi. Individu tunanetra tidak memiliki kendali yang sama terhadap lingkungan dan diri sendiri, seperti halnya yang dilakukan oleh individu awas. Keterbatasan tersebut dimungkinkan menghambat tugas-tugas perkembangannya (Delphie, 2006)
Permasalahan utama yang dialami individu yang mengalami tunanetra di usia dewasa awal terkait dengan ketidakmampuan untuk bekerja dan hidup produktif, memperoleh pasangan hidup, diasingkan, dan akan selalu bergantung pada orang lain. Dampak lain dari hilangnya penglihatan pada individu dewasa awal adalah perasaan kehilangan kemampuan untuk mengikuti aturan sosial yang berlaku di masyarakat (Crews & Campbell, 2004). Ketakutan menghadapi kehidupan masa depan berkaitan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Selama ini tunanetra di Indonesia banyak kehilangan hak-haknya. Hak yang hilang berupa hak menggunakan alat transportasi umum, hak memperoleh informasi, dan hak memperoleh pekerjaan (Medan Bisnis, 2011).
Para penyandang tunanetra menunjukkan penurunan kesejahteraan psikologis yang secara spesifik berkaitan dengan fungsi visualnya, misalnya dalam hal relasi sosialnya dan penerimaan dukungan sosial (Mclivane & Reinhardt, 2001; Pinquart & Pfeiffer, 2009). Selain itu, mereka cenderung mengalami stres lebih tinggi, tingkat kepuasan perkawinan yang lebih rendah, kesehatan mental dan kendali akan kesejahteraan psikologis yang menurun (Gardner & Harmon, 2002). Bahkan apabila dibandingkan dengan populasi normal, para penyandang tunanetra di usia awal cenderung memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih rendah. Diungkapkan pada studi yang sama, pada populasi tunanetra di Eropa, terganggunya fungsi penglihatan membawa dampak negatif terbesar dalam menurunkan kesejahteraan individu (Carney, 2004; Linely & Joseph, 2005), sedangkan perbandingan antara populasi tunanetra bawaan (congenital blind) dan tunanetra setelah dewasa (late blind) dijelaskan bahwa kesejahteraan psikologis dan resiliensi late blind cenderung lebih rendah (Zeeshan & Aslam, 2013). Padahal, Mills (2010) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan indikator keseimbangan antara dampak negatif dan positif dari suatu kondisi yang dialami individu. Selain itu, kesejahteraan psikologis penting karena memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi akan mendukung kesehatan yang lebih baik, memperpanjang umur, meningkatkan usia harapan hidup, dan menggambarkan kualitas hidup dan fungsi individu (Diener dkk, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar