A. SEJARAH
DAN DEFINISI
Kata “tunanetra” dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berasal dari kata “tuna” yang artinya rusak atau cacat dan
kata “netra” yang artinya adalah mata
atau penglihatan, jadi tunanetra adalah rusak penglihatan secara total. Orang
yang tunanetra belum tentu mengalami kebutaan tetapi orang buta sudah pasti
tunanetra. Scholl dalam Hidayat dan Suwandi (2013) mengemukakan bahwa orang
yang memiliki kebutuhan menurut hokum legal
blindness apabila ketajaman penglihatan sentralnya 20/200 feet atau kurang pada penglihatan
terbaiknya setelah dikoreksi dengan kacamata atau ketajaman penglihatan
sentralnya lebih dari 20/200 feet.
Tetapi ada kerusakan pada lantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih
besar dari 20 derajat pada mata terbaiknya.
Berdasarkan definisi diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa tunanetra tergolong menjadi dua kelompok, yaitu
tunanetra dengan buta total dan tunanetra yang memiliki keterbatasan
pengelihatan. Dan juga ada seseorang yang mengalami kebutaan sejak lahir
ataupun mengalami kecelakaan, pertambahan usia atau tidak sejak lahir. Pada
tahun 1784, Lembaga bagi Anak Tunanetra (Institution for Blind Youth), sekolah
pertama bagi para tunanetra, didirikan di Paris. Pada awal tahun 1800an, Louis
Braille, seorang tunanetra berkebangsaan Perancis, mengembangkan sistem braille
saat ini, sebuah sistem perabaan untuk membaca dan menulis yang menggunakan
enam titik braille yang timbul. Pada tahun 1829 , Rumah Sakit New England bagi
Tunanetra / the New England Asylum for the Blind (sekarang menjadi Sekolah
Perkins bagi Tunanetra / the Perkins School for the Blind ), sekolah pertama
bagi tunanetra, didirikan di Amerika Serikat dan yang menjadi direktur
pertamanya adalah Samuel Gridley. Lembaga New York bagi Tunanetra serta Lembaga
Pennsylvania bagi Instruksi untuk Tunanetra didirikan sekitar tahun 1832.
Biasanya hanya anak - anak dari keluarga kaya yang mampu mengikuti pendidikan
pada sekolah - sekolah asrama swasta ini.
B. PREVALENSI
Pada
tahun 2016/2017 jumlah tunanetra di Indonesia di seluruh Sekolah Luar biasa
adalah berjumlah ;
·
Sekolah
Negri : 1591 Siswa
·
Sekolah
Swasta : 2107 Siswa
·
Jumlah : 3698 Siswa
C. PENYEBAB
Menurut Hidayat dan Suwandi, (2013)
faktor penyebab tunanetra bisa terjadi pada saat dalam kandungan. Keadaan ini
terjadi dengan faktor utama keturunan contohnya terjadi perkawinan antar
keluarga dekat atau sedarah dan perkawinan antar tunanetra. Selain faktor
kandungan bisa juga karena terkena penyakit seperti virust rubella/campak jerman, glaucoma,
retinopati diabetes, retinoblastoma dan kekurangan vitamin A.
Sedangkan
menurut Pradopo (1997) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan
seseorang menderita tunanetra, antara lain :
b)
Faktor
endogen, merupakan faktor yang sangat erat dengan masalah keturunan dan
pertumbuhan seorang anak dalam kandungan atau yang disebut juga dengan faktor
genetic. Ciri-ciri yang disebabkan oleh faktor keturunan adalah bola mata yang
normal tetapi tidak dapat menerima energi positif sinar atau cahaya, yang
kadang-kadang seluruh bola maanya tertutup oleh selaput putih atau keruh.
b)
Faktor
eksogen atau faktor luar yaitu :
·
Penyakit
yaitu virus rubella yang dapat
menyebabkan campak pada tingkat akut yang ditandai dengan kondisi panas yang
meninggi akibat virus yang lama kelamaan akan menggangu saraf penglihatan fungsi
indra yang akan menjadi permanen, ada juga yang diakibatkan oleh kuman syphilis, perapuhan pada lensa mata yang
mengakibatkan pandangan menjadi mengeruh.
·
Kecelakaan
fisik akibat tabrakan atau jatuh yang berakibat langsung merusak saraf netra
atau akibat rusaknya saraf tubuh yang lain atau saraf tulang belakang yang
berkaitan dengan fungsi saraf netra, terkena radiasi ultra violet atau gas
beracun yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan fungsi mata untuk melihat
D. IDENTIFIKASI
Menurut Irham Hosni, ketunanetraan
bisa terjadi sejak lahir maupun setelah lahir. Hal ini akan mempengaruhi dalam
pemenuhan kebutuhannya. Dalam terjadinya kerusakan visual, dapat melihat dari
dua faktor, yaitu faktor usia dan saat terjadinya kerusakan penglihatan dan
bagaimana terjadibta kerusakan penglihatan. Kedua faktor tersebu menyebabkan
pengaruh yang berbeda terhadap siri tunanetra.
Menurut Irham Hosni, tunanetra
yang kehilangan penglihatannya sebelum usia 5 tahunn atau usia 7 tahun akan
kehialangan gambaran visual sehingga anak tersebut akann menggantungkan dirinya
pada indera non visual. Sedangkan tunanetra yang kehilangan peglihatannya
setelah umur 7 tahun mereka masih dapat mengingat visual dan warna sehingga
masih dapat dimanfaatkan dalam proses belajarnya,. Akan tetapi anak tersebut
tidak mampu mengadakan pengamatan visual yang baru (B. Lowenfield dalam Irham
Hosni)
Penyebab terjadinya kerusakan
ppenglihatan akan menimbulan pengaruh yang berbeda. Misalnya, kerusakan
penglihatan yang terjadi secara mendadak yang diakibatkan oleh kecelakaan akan
menyebabkan seseorang merasa jiwanya tergoncang atau goncangan sosial yang
lebih berat dibandingkan dengan seseorang yang mengalami kerusakan penglihatan
sejak lahir.
E. KARAKTER
PSIKOLOGI DAN PERILAKU
Menurut Widjaya (2013) Pada individu
berkebutuhan khusus yang menyandang tuna netra,
terdapat beberapa karakteristik yang dapat dijadikan ciri-ciri mengapa
disebut tuna netra. Karakteristik tersebut meliputi karakter kognitif, akademik,
sosial dan emosional, serta
perilaku.
1.
Karakteristik kognitif
Lowenfeld menggambarkan damoak kebutaan dan
low vision terhadap perkembangan kognitif, dengan mengidentifikasi keterbatasan
yang mendasar pada anak dalam tiga area berikut ini :
a) Tingkat dan keanekaragaman pengalaman
Ketika
individu mengalami ketunanetraan atau tidak dapat melihat (buta) maka pengalaman atau pengetahuan mengenai apa
saja yang ada di dunia dan yang ada disekitar kita diperoleh dari indera-indera
yang masih berfungsi khususnya perabaan dan pendengaran. Namun indera-indera tersebut tidak dapat
secara cepat dan menguasai secara menyeluruh dalam memperoleh informasi,
misalnya ukuran, warna, dan hubungan ruang, yang sebenarnya bisa
diperoleh dengan benar dan tepat melalui pengelihatan.
Tidak seperti halnya pengelihatan,
ketika mengeksplorasi benda dengan perabaan merupakan proses dari bagian ke
keseluruhan, dan orang tersebut harus
melakukan kontak dengan bendanya selama dia melakukan eksplorasi tersebut. Beberapa benda mungkin terlalu jauh dari
jangkauan seperti yang ada di langit diatas pohon dan sebagainya. Bahkan terlalu besar seperti gunung, terlalu
rapuh misalnya binatang kecil, atau
terlalu membahayakan seperti api.
b) Kemampuan untuk berpindah tempat
Pengelihatan
memungkinkan kita untuk bergerak dengab leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi tuna netra memlunyau keterbatasan
dalam melakukan gerakan tersebut.
Keterbatasan tersebut mengakibatkan kesempatan kecil dalam memperoleh
pengalaman dan juga berpengaruh pada hubungan sosial. Tidak seperti individu yang lainnya, anak
tuna netra harus belajar cara berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu
lingkungan dengan berbagau keterampilan orientasi dan mobilitas.
c)
Interaksi dengan lingkungan
Meskipun individu yang tuna netra
telah memiliki keterampilan mobilitas dari hasil belajar yang dilakukan, namun keterampilan tersebut tetap
membatasinya untuk mengetahui lingkungan sekitarnya, karena gambarang mengenai
lingkungan tidak utus atau tidak sama seperti individu yang lainnya.
2.
Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya
terhadap pekembangan kognitif, tetapi
juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Maka dalam hal membaca dan menulis individu
tuna netra akan belajar menggunakan alat untuk alternatif pembantu yaitu
hufmruf braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran
3.
Karakteristik 5(Sosial:) dan Emosional
Perilaku sosial secara tipikal
dikembangkan melalui observasi terhadap kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya dilkukan melalui
penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan meminta masukan dari orang
lain yang berkompeten. Karrns tuna netra
mempunyai keterbatan dalam belajar melalui pengalaman dan menirukan, siswa tuna netra sering mempunyai kesulitan
dalam melakukan perilaku sosial yang benar.
Sebagai akibat dari
ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial, siswa tuna netra harus mendapatkan
pembelajaran yang langung dan sistematis dalam bidang pengembamgan persahabatan,
menjaga kontak mata atau orientaso wajah,
penampilan postur tubuh yang baik, mempergunakan geralan tubuh dan
ekspresi wajah dengan benar,
mengekspresikan perasaan,
menyampaikan pesan yang terjadi pada waktu melakukan komunikasi serta
mempergunakan alat bantu yang tepat.
Menurut Lewis V (2003) Dalam
perkembangannya individu yang tuna netra dapat melakukan interaksi dengan
lingkungannya dengan cara menyentuh dan mendengar objeknya. Hal tersebut
dilakukan karena tidak ada kontak mata,
penampilan ekspresi wajah yang kurang, dan kurangnya pemahaman tentang
lingkungannya sehingga interaksi itu kurang menarik bagi lawannya.
f.
Karakteristik Perilaku
Siswa tuna netra terkadang sering
kurang memperhatikan kebutuhan sehari -harinya,
sehingga ada kecenderungan orang lain untuk membantunya. Apabila hal ini terjadi maka siswa akan
berkecenderungan berlaku pasif. Beberapa
siswa tuna netra sering menunjukkan perilaku stereotip sehingga menunjukkan
perilaku yang tidak semestinya. Sebagai
contoh mereka sering menekan matanya,
membuat suara dengan jarinya. Nenggoyangkan kepala, badan atau berputar-putar. Ada beberapa teori yang mengungkap mengapa
tuna netra kadang mengembangkan perilaku stereotipnya. Hal ini terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak
adanya rangsangan srnsoris, terbatasnya
aktifitas, atau dengan mempergunakan
strategi perilaku tertentu, misalnya
memberikan pujian atau alternatif pengajaran,
perilaku yang lebih positif dan sebagainya. Kantor
F. PERTIMBANGAN
PENDIDIKAN
Kebutuhan
Pendidikan
Kehilangan penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit
dalam melakukan mobilitas, artinya sulit untuk bergerak , dari satu tempat
ketempat lainnya yang diinginkan . Oleh karena itu, kepada mereka perlu
diberikan suatu keterampilan khusus , agar dapat melakukan mobilitas dengan
cepat , tepat dan aman bagi anak yang tergolong buta sisa penglihatannya tidak
lagi digunakan untuk membaca huruf awas sehinga bagi mereka
digunakan huruf Braille.
Adanya
keterbatasaan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai
aktivitas yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oleh karena memiliki hambatan maka selain membutuhkan layanan pendidikan umum
sebagai mana halnya anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk
merehabilitasi kelainannya.
2. Layanan Pendidikan Bagi Anak
Tunanetra
Layanan pendidikan bagi anak tunanetra pada dasarnya sama
dengan layanan pendidikan bagi anak awas hanya dalam teknik penyampaiannya
disesuaikan dengan kemampuan dan ketidak mampuan atau karakteristik anak
tunanetra.
a. Jenis Layanan
Ditinjau
dari segi jenisnya, layanan pendidikan bagi anak tunanetra meliputi layanan
umum dan layanan khusus.
Layanan
umum
Latihan
yang diberikan terhadap anak tunanetra, umumnya meliputi hal-hal berikut:
·
Keterampilan
·
Kesenian
·
Olahraga
Layanan
khusus/layanan rehabilitasi
Layanan
khusus /rehabilitasi yang diberikan terhadap anak tunanetra, antara lain
sebagai berikut:
latihan
membaca dan menulis braille
latihan
penggunaan tongkat
latihan
orientasi dan mobilitas
latihan
visual/fungsional penglihatan
b. Tempat /Sistem Layanan
Tempat
khusus/ sistem segregasi
Tempat
pendidikan melalui sistem segregasi bagi anak tunanetra adalah berikut ini:
a) Sekolah
khusus
Sekolah
khusus yang konvensional adalah Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra (SLB
bagian A). Sekolah ini memiliki kurikulum tersendiri yang dikhususkan bagi anak
tunanetra.
b) Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB
yang dimaksudkan disini berbeda dengan SDLB yang ada dalam kurikulum 1994. SDLB
yang dimaksud dalam kurikulum tersebut, diperuntukkan bagi satu jenis kelainan,
yaitu anak tunanetra saja, sedangkan dalam konsep SDLB ini merupakan suatu
sekolah pada tingkat dasar yang menampung berbagai jenis kelainan, seperti tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa.
c) Kelas
jauh/kelas kunjung
Kelas
jauh/kelas kunjung adalah kelas yang dibentuk untuk memberikan layanan
pendidikan bagi anak luar biasa termasuk anak tunanetra yang bertempat tinggal
jauh dari SLB/SDLB.
Sekolah
biasa/sistem integrasi.
Penyelenggaraan
sistem pendidikan terpadu memerlukan seorang ahli ke-PLB-an yang disebut Guru
Pembimbing Khusus (GPK),dan ruang bimbingan khusus untuk memberikan layanan
khusus bagi anak tunanetra.
Melalui
sistem integrasi/terpadu, anak tunanetra belajar bersama-sama dengan anak
normal (awas) dengan memperoleh hak kewajiban yang sederajat.
Sekolah dasar atau sekolah biasa lainnya yang menerima anak tunanetra (anak
luar biasa pada umumnya) sebagai siswanya, disebut sekolah terpadu. Apabila
disekolah tersebut tidak terdapat bagi anak luar biasa maka secara otomatis
sebutan sekolah terpadu tidak berlaku lagi (kembali disebut sekolah dasar atau
sekolah biasa lainnya). Melalui sistem pendidikan terpadu, anak tunanetra akan
memperoleh keuntungan berikut:
a) Memperoleh
kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan bersama-sama dengan
anak awas lainnya.
b) Kesempatan
yang seluas-luasnya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi lingkungan dengan
membiasakan diri berinteraksi dengan teman-temannya yang awas.
Bentuk
keterpaduan dalam sistem pendidikan integrasi, sangat bervariasi. Kirk &
Gallagher (1989:61-62) mengemukakan bentuk-bentuk keterpaduan/integrasi yang
meliputi:
·
Bentuk kelas biasa dengan guru
konsultasi (regular classroom with consultant teacher)
·
Kelas biasa dengan guru
kunjungan (itinerant teacher)
·
Kelas biasa dengan ruang
sumber (resource room) atau ruang bimbingan khusus
·
Kelas khusus (special class)
c. Ciri Khas Layanan
Hal-hal
yang khas dalam pendidikan anak tunanetra adalah berikut ini:
1) Penempatan
anak tunanetra
Dalam
menempatkan anak tunanetra, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
Anak
tunanetra ditempatkan didepan, agar dapat mendengarkan penjelasan guru dengan
jelas.
Memberikan
kesempatan kepada anak tunanetra untuk memiliki tempat duduk yang sesuai dengan
kemampuan penglihatannya
Anak
tunanetra hendaknya ditempatkan berdekatan dengan anak yang relatif cerdas,
agar terjadi proses saling membantu.
Tidak
diperkenankan dua anak tunanetra duduk berdekatan, agar lebih terintegrasi
dengan anak awas.
2) Alat
peraga yang digunakan hendaknya memiliki warna yang kontras. Pada alat peraga
bahan cetakan, antara tulisan dan warna dasar kertas harus kontras.
3) Ruang
belajar bagi anak tunanetra terutama anak low vision cukup
mendapatkan cahaya/penerangan.
d. Strategi dan Media Pembelajaran
a) Strategi
pembelajaran
Strategi
pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari
semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan,
materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi
sehingga proses pembelajaran tersebut berjalan dengan efektif dan efisien.
Dalam
proses pembelajaran, dapat digunakan berbagai macam strategi pembelajaran yang
didasarkan pada pertimbangan tertentu, antara lain berikut ini:
1) Berdasarkan
pertimbangan pengolahan pesan terdapat dua macam strategi pembelajaran, yaitu
deduktif dan induktif.
2) Berdasarkan
pihak pengolah pesan, terdapat dua strategi pembelajaran, yaitu ekspositorik
dan heuristik.
3) Berdasarkan
pertimbangan pengaturan guru, ada 2 macam strategi, yaitu strategi pembelajaran
dengan seorang guru dan beregu (team teaching).
4) Berdasarkan
pertimbangan jumlah siswa, terdapat strategi pembelajaran klasikal, kelompok
kecil, dan individual.
5) Berdasarkan
interaksi guru dan siswa, terdapat strategi pembelajaran tatap muka, dan
melalui media.
Di
samping strategi yang telah dijelaskan diatas, ada strategi lain yang dapat
diterapkan dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu:
·
Strategi individualisasi,
·
Kooperatif, dan
·
Modifikasi perilaku
Permasalahan
dalam strategi pembelajaran anak tunanetra adalah bagaimana upaya guru dalam
melakukan penyesuaian (modifikasi) terhadap semua komponen dalam proses pembelajaran
sehingga pesan maupun pengalaman pembelajaran menjadi sesuatu yang dapat
diterima/ditangkap oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih
berfungsi, yaitu indera pendengaran, perabaan, pengecapan, serta sisa
penglihatan (bagi anak low vision).
Permasalahan
lainnya adalah bagaimana guru membiasakan dan melatih indera yang masih
berfungsi pada anak tunanetra agar lebih peka dalam menangkap pesan
pembelajaran.
Agar
lebih mudah melakukan modifikasi dalam strategi pembelajaran anak tunanetra,
guru harus memahami prinsip-prinsip dasar dalam pembelajaran anak tunanetra,
yaitu sebagai berikut.
(1) Prinsip
individual
Prinsip
individual, mempunyai pengertian bahwa dalam proses pembelajaran, seorang guru
harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individu.
(2) Prinsip
kekonkretan/pengalaman penginderaan langsung
Prinsip
ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran yang digunakan guru harus
memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang
dipelajarinya.
(3) Prinsip
totalitas
Prinsip
ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran yang dilakukan guru harus
memungkinkan anak tunanetra memperoleh pengalaman objek atau setuasi secara
total atau menyeluruh.
(4) Prinsip
aktivitas mandiri (self activity)
Prinsip
ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa
memperoleh kesempatan untuk belajar secara aktif dan mandiri. Dengan demikian,
guru berfungsi sebagai fasilitator, yang membantu kemudahan siswa belajar dan
motivasi, yang membangkitkan motivasi anak untuk belajar.
b) Media
pembelajaran
Media
pembelajaran merupakan komponen yang tidak dapat dilepaskan dari suatu proses
pembelajaran karena keberhasilan proses pembelajaran tersebut, salah satunya
ditentukan oleh penggunaan komponen ini.
Menurut
fungsinya, media pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua kelompok sebagai
berikut.
·
Media yang berfungsi untuk
memperjelas penanaman konsep, yang sering disebut sebagai alat peraga.
·
Media yang berfungsi untuk membantu
kelancaran proses pembelajaran itu sendiri yang sering disebut sebagai alat
bantu pembelajaran.
Berikut
ini akan dijelaskan jenis-jenis alat peraga dan alat bantu pembelajaran yang
dapat digunakan dalam proses pembelajaran anak tunanetra.
1) Alat
peraga
a) Objek
atau situasi yang sebenarnya.
Contohnya,
objek yang sebenarnya: tumbuhan dan hewan asli/sebenarnya.
b) Benda
asli yang diawetkan, contohnya binatang yang diawetkan.
c) Tiruan
(model), yang terdiri dari model tiga dimensi dan dua dimensi.
·
Model/tiruan 3 dimensi memiliki
dimensi panjang, lebar, dan tinggi (memiliki volume) sehingga bentuknya hampir
sama dengan objek sebenarnya, akan tetapi sifat substansi, permukaan, dan
ukuran ada kemungkinan tidak sama.
·
Model dua dimensi, yaitu dimensi
panjang dan lebar.
2) Alat
bantu pembelajaran
Alat
bantu pembelajaran yang dapat digunakan oleh anak tunanetra, antara lain
berikut ini.
·
Alat bantu untuk baca-tulis,
·
Alat bantu untuk membaca (bagi
anak low vision),
·
Alat bantu berhitung,
·
Alat bantu audio yang sering
digunakan oleh anak tunanetra.
G. PENILAIAN
KEMAJUAN
Para penyandang tuna netra juga
berhak untuk menerima pengajaran dan pembelajaran, agar meskipun mereka tidak memiliki
pengelihatan mereka tetap bisa menerima hak yang sama seperti anak yang
normal. Berbagai strategi pengajaran
disusun khusus untuk penyandang tuna netra.
Misalnya seperti yang dikemukakan Ardhi Wijaya (2013) strategi
pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan merupakan rekayasa dan
rencana yang cermat mengenai proses interalai antara siswa tunanetra dan
lingkungannya, dan atau proses
penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa yang
dirancang untuk mendorong, menggiatkan,
mendukung dan memungkinkan terjadinya anak tuna netra belajar membaca dan
menulia Braille permulaan, sehingga
terjadi perubahan perilaku anak tuna Netr yaitu memiliki kecakapan dalam
membaca dan menulis Braille.
Metode khusus yang dilakukan untuk
penyandang tuna netra telah di modifikasi terhadap cara dan alat membaca dan menulis
Braille. Pada waktu mengajarkan
titik-titik Braille tidak langsung pada alat tulis Braille yaitu reglet dan
penanya atau "stylus" tetapi menggunakan papan huruf atau bacaan
terkadang disebut juga "Reken Plank". Dengan Reken Plank tersebut
anak tuna netra dikenalkan posisi enam titik Braille baik dalam posisi
horizontal maupun vertikal. Papa baca
reken plank selain digunakan untuk memperkenalkan titik-titik Braille juga
dapat digunakan untuk melatih kepekaan diri aktual siswa tuna netra.
Melalui program orientasi dan
mobilitasi diharapkan anak tuna netra akan memiliki motivasi, kemauan,
dan kemampuan untuk melakukan berbagai aktivitas baik di lingkungannya
secara cepat, tepat, luwes,
aman, dan tidak terlalu
tergantung kepada orang lain. Tanpa penguasaan keterampilan orientasi dan
mobilitas, maka anak tuna netra akan
bersifat pasif, diam di tempat, kurang percaya diri, dan ketakutan akan banyak hal sehingga
akhirnya akan berpengaruh terhadap aspek pertumbuhan dan perkenbangannya.
Berkaitan dengan program orientasi dan mobilitas yang terencana dan sistematis
bagi anak tuna netra, sejauh ini sekolah
luar biasa merupakan satu-satunya tempat yang paling strategis untuk melakukan
hal itu. Namun dalam pelaksanaanya
sekolah luar biasa mengalami fenomena yang kurang sesuai.
Untuk mengetahuu tercapainya tujuan
instruksional yang diharapkan guru maka setiap akhir tahun ajaran diadakan
evaluasi yang tujuannya untuk mengetahui hasil belajar siswa. Menurut pendapat Winarno (Widjaya, 2013) menyatakan
"hasil belajar adalah prosea kedewasaan manusia yang hidup dan berkembang,
manusia yang selalu berubah dan perubahan itu merupakan hasil belajar".
Sedangkan menurut Gagne (Widjaya, 2013) hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan,
pengetahuan, sikap dan nilai.
Jadi hasil belajar merupakan proses
perkembangan manusia kearah dewasa berupa keterampilan, pengetahuan,
sikap, dan nilai setelah belajar di sekolah. Hasil belajar yang diperoleh dari belajar
berupa nilai dalam bentuk skor dan perubahan tingkah laku, merupakan salah satu indikator yang dijadikan
pedoman untuk mengetahui kemajuan yang diperoleh di sekolah. Hasil yang
diharapkan bukan berupa pengetahuan,,
tetapi juga sikap pemahanan,
perluasan minat, penghargaan, norma-norma, kecakapan, juga meliputi pribadi anak. Menurut Muhammad Ali (Widjaya, 2013) ciri
suatu tingkah laku sebagai hasil belajar yaitu :
1)
relatif permanen
2)
akibat interaksi dengan lingkungan yang dilakukan dengan sengaja
3)
bukan karena proses kematangan
4)
tingkah laku tersebut dapat diulang-ulang dengan hasil yang sama
H. INTERVENSI
AWAL
Intervensi dini menjadi salah satu
cara yang baiknya dilakukan orangtua pada anak mereka yang mengalami masalah
atau berkebutuhan khusus. Intervensi dini biasanya dilakukan pada anak usia
sekolah atau bisa juga dilakukan pada anak yang lebih kecil usianya untuk
dideteksi apakah mengalami resiko kondisi perkembangan yang tidak sesuai usia
atau berbagai kebutuhan khusus lainnya.
Intervensi diartikan egala langkah dan
tindakan yang lebih baik dari cara-cara yang bersifat konvensional;sehngga
kadang – kadang hanya tampak sebagai prinsio – prinsip umum yang berlaku dalam
berbagai situasi. Interveni dapat memperbaiki masalah-masalah perkembangan yang
ada dan mengantisipasi (sifatnya preventif). Intervensi bisa dilakukan bila
telah diadakan identifikasi. Untuk itu, perlu diadakan observasi, dilakukan
oleh beberapa profesional dari segala sisi disiplin ilmu – untuk menentukan
jenis intervensi yang akan dilaksanakan. Semua langkah intervensi harus
dilaksanakan konsisten, perlu waktu sehingga memerlukan kesabaran dari
orangtua. Apa pun intervensi yang telah disepakati, biasanya memerlukan waktu
dan perlu persiapan mental dari semua pihak. Konsistensi, kesabaran dan berdoa adalah
hal utama yang harus dimiliki dan dilakukan orangtua sebagai faktor utama
keberhasilan intervensi.
Intervensi dini adalah menelaah
hambatan atau perkembangan anak pada usia dini, antara 0-2 tahun. Meneliti
sejauh mana perkembangan anak ini masih masuk dalam kategori normal atau diluar
dari yang normal. Secara psikologi, patokannya dapat dilihat dari bagaimana
anak berinteraksi dengan orangtua, anak cepat tanggap merespon pada instruksi
yang diberikan oleh orangtua. Juga dapat dilihat, apakah anak aman atau tidak,
anak dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan sejauh mana perkembangan
pertumbuhan anak. Identifikasi dan intervensi sangat penting dalam hal membantu
meningkatkan dan mempertahankan kehidupannya. Setiap anak memiliki kemampuan
untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya namun itupun di sesusaikan
dengan kondisi pshikisnya.
Manfaat intervensi dini sangat
penting karena pendidik mampu menyesuaikan dengan kebutuhan anak secara
individual. Intervensi dan pendidikan memberikan solusi agar anak bisa
berkembang secara optimal misal dalam hal komunikasi belajar, aktif secara
social dengan teman sebaya, dan bisa meningkatkan kemampuan – kemampuan sesuai
langkahnya sendiri, meningkatkan dan memfasilitasi proses ini dengan
menyediakan lingkungan yang mendorong pertumbuhan dan pembelajaran.
Salah satu langkah bantuan yang tepat bagi anak yang mengalami hambatan
perkembangan misalnya layanan intervensi dini yang dapat di lakukan orangtua
pada anak antara lain instruksi khusus, terapi wicara, fisioterapi, nutrisi,
pendidikan keluarga, layanan penglihatan teknologi penunjang, layanan
kesehatan, layanan perawatan, audiologi, layanan psikologi, layanan diagnosa
medis, layanan orthopedagog dalam pendekatan didaktisnya. Layanan-layanan
tersebut dapat dilakukan di rumah, pusat terapi, rumah sakit.
I. TRANSISI
MENUJU TAHAP DEWASA
Sardegna (2002) menjelaskan bahwa
tunanetra adalah individu yang kehilangan penglihatan karena kedua indera
penglihatannya tidak berfungsi seperti orang awas. Tunanetra dibagi menjadi
dua, yaitu buta (totally blind) dan low vision. Pada umumnya individu tunanetra
juga memiliki hambatan dalam menerima informasi. Individu tunanetra tidak
memiliki kendali yang sama terhadap lingkungan dan diri sendiri, seperti halnya
yang dilakukan oleh individu awas. Keterbatasan tersebut dimungkinkan
menghambat tugas-tugas perkembangannya (Delphie, 2006)
Permasalahan utama yang dialami
individu yang mengalami tunanetra di usia dewasa awal terkait dengan
ketidakmampuan untuk bekerja dan hidup produktif, memperoleh pasangan hidup,
diasingkan, dan akan selalu bergantung pada orang lain. Dampak lain dari
hilangnya penglihatan pada individu dewasa awal adalah perasaan kehilangan
kemampuan untuk mengikuti aturan sosial yang berlaku di masyarakat (Crews &
Campbell, 2004). Ketakutan menghadapi kehidupan masa depan berkaitan dengan ketersediaan
lapangan pekerjaan. Selama ini tunanetra di Indonesia banyak kehilangan
hak-haknya. Hak yang hilang berupa hak menggunakan alat transportasi umum, hak memperoleh
informasi, dan hak memperoleh pekerjaan (Medan Bisnis, 2011).
Para penyandang tunanetra menunjukkan penurunan
kesejahteraan psikologis yang secara spesifik berkaitan dengan fungsi
visualnya, misalnya dalam hal relasi sosialnya dan penerimaan dukungan sosial
(Mclivane & Reinhardt, 2001; Pinquart & Pfeiffer, 2009). Selain itu, mereka
cenderung mengalami stres lebih tinggi, tingkat kepuasan perkawinan yang lebih
rendah, kesehatan mental dan kendali akan kesejahteraan psikologis yang menurun
(Gardner & Harmon, 2002). Bahkan apabila dibandingkan dengan populasi
normal, para penyandang tunanetra di usia awal cenderung memiliki tingkat
depresi yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih rendah. Diungkapkan pada
studi yang sama, pada populasi tunanetra di Eropa, terganggunya fungsi
penglihatan membawa dampak negatif terbesar dalam menurunkan kesejahteraan
individu (Carney, 2004; Linely & Joseph, 2005), sedangkan perbandingan
antara populasi tunanetra bawaan (congenital blind) dan tunanetra setelah
dewasa (late blind) dijelaskan bahwa kesejahteraan psikologis dan resiliensi
late blind cenderung lebih rendah (Zeeshan & Aslam, 2013). Padahal, Mills
(2010) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan indikator
keseimbangan antara dampak negatif dan positif dari suatu kondisi yang dialami
individu. Selain itu, kesejahteraan psikologis penting karena memiliki
kesejahteraan psikologis yang tinggi akan mendukung kesehatan yang lebih baik,
memperpanjang umur, meningkatkan usia harapan hidup, dan menggambarkan kualitas
hidup dan fungsi individu (Diener dkk, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar