Powered By Blogger

Senin, 12 Maret 2018

Psikologi dalam persprektif Islam tentang Ikhlas

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Syarat diterimanya ibadah adalah rasa ikhlas. Sebagaimana diterangkan dalam ayat Al-Qur'an (QS. Az-Zumar: 65): “Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh, jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.". Dengan ikhlas kita tidak akan tersesat ke jalan yang tidak diridhoi Allah, dengan ikhlas pula kita tidak akan menjadi orang yang riya’ atau sombong, karena sombong itu merupakan sifatnya iblis. Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat,aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih diantara mereka.” (QS. Al-Hijr: 39-40)
Imam Jafar al-Shadiq a.s., ketika menjelaskan firman Allah, "Supaya Dia menguji siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya." (67:2) berkata: "Ia bukan berarti seseorang yang perbuatannya lebih banyak tapi seseorang yang lebih benar perbuatannya, dan kebenaran ini tiada lain karena takut kepada Allah, niat tulus, dan takwa." Kemudian beliau menambahkan: "Untuk tekun dalam berbuat sampai menjadi ikhlas lebih sulit daripada (melakukan) perbuatan itu sendiri, dan ketulusan perbuatan bersandar pada tidak mengharapkan pujian orang lain kecuali Allah, dan niat menggantikan perbuatan itu sendiri. Sungguh, niat adalah perbuatan itu sendiri. Kemudian beliau membaca ayat, "Katakanlah, tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing (syakilatihi)", (17:84) menjelaskan, "Syakilah berarti niat."



BAB II
PEMBAHASAN
a.   Hakikat Ikhlas 
Secara bahasa,  Ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih dari kotoran. Sedangkan secara istilah, Ikhlas berarti niat dengan mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Ikhlas (ketulusan) dalam niat, berbuat, dan kemudian sungguh-sungguh dengannya merupakan tingkat cinta dan penghambaan tertinggi kepada Allah. Ikhlas didefinisikan dan dijelaskan sebagai berikut: `Arif terhormat dan bijak, Khwajah `Abd Allah al-Ansari (qs) berkata: “Ikhlas berarti mensucikan perbuatan dari semua kotoran.” 'Kotoran' berarti hasrat untuk menyenangkan diri sendiri dan makhluk lain.
Ulama besar Syekh al-Baha'i (ra) meriwayatkan bahwa orang-orang yang mencintai Allah dengan hati berkata: "Ikhlas menjaga perbuatan bebas dari peran selain-Nya dan pelaku perbuatan tidak menginginkan imbalan apapun di dunia dan akhirat." 
Nabi Muhammad saw. bersabda bahwa Allah berfirman: “Ikhlas adalah rahasia di antara rahasia-rahasia-Ku dan Aku menempatkannya di hati hambahamba yang Kucintai.” [Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 70, h. 249, hadis # 24]
Siapakah Mukhlishun (Orang-Orang yang Ikhlas)? 
Allah mengundang hamba-hamba-Nya kepada-Nya dengan cara mereka harus membersihkan jiwa dari sesembahan lain dan membuat mereka memusatkan perhatian kepada-Nya.  
Mukhlisun adalah mereka yang menyembah Allah sedemikian sehingga tidak melihat jasa mereka atau tidak memperhatikan dunia dan orang-orangnya; diri dan perilaku mereka sepenuhnya milik Allah. Dengan demikian, keadaan ibadah mereka adalah 'din' yang Allah Swt. pilihkan. Dia berfirman: Ingat, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (al-din al-khalis). (39:3)
Diriwayatkan dari arif besar Syekh al-Muhaqqiq Muhyi al-Din Ibn al-`Arabi bahwa dia berkata: 'Ingat, kepada Allahlah kesetiaan yang tulus,' bebas dari noda dan egoisme. Penyatuan Anda dengan-Nya harus total, Zat; Sifat, Amal, dan din harus terikat denganmu. Ingatlah, jika kesetiaan tidak tulus dengan kenyataan, ia tidak akan menjadi milik Allah."   Pengabdian tulus merupakan jejak manifestasi (tajalliyat) dari Kekasih (Allah) dan tidak melewati melalui hati mereka kecuali Zat Tuhan yang Mahaesa
Ikhlas dalam Berbuat  
Seseorang harus melatih kewaspadaan karena beberapa kali terjadi seseorang melakukan perbuatan dengan tulus, sempurna, tidak riya atau ujub tapi setelah selesai perbuatan itu, ia terkena riya dengan menyebutkannya kepada orang lain sebagaimana ditunjukkan dalam hadis mulia berikut:
Imam al-Baqir a.s. berkata: "Ketekunan dalam berbuat lebih sulit dari perubatan itu sendiri." Beliau ditanya, "Apa maksud tekun dalam berbuat?" Beliau menjawab, "Seseorang melakukan kebaikan kepada saudara atau melakukan sesuatu tulus kepada Allah, yang Esa tanpa sekutu. Kemudian pahal kebaikan ditulis untuknya diam-diam. Kemudian, ia menyebutkannya kepada seseorang dan itu berarti apa yg ditulis untuknya terhapus. Kemudian, ketika ia menyebutnya lagi, penyakit riya dituliskan untuknya." [Al-Kulaini al-Kafi, kitab al-'iman wa al-kufr, bab al-riya', hadis # 16]
Bagaimana Menjaga Keikhlasan–beberapa poin praktis 
·         Jika Anda telah melakukan perbuatan baik semata-mata karena Allah, membantu orang lain atau melakukan kewajiban ibadah kemudian Anda tahu tidak pernah bisa aman dari kejahatan setan dan nafsu amarah sampai akhir hidup Anda. 
·         Anda harus waspada, karena Anda merasa rendah hati dapat membuat Anda menyebut (kebaikan) di hadapan teman-teman Anda, atau mengatakan dengan halus secara tidak langsung. Sebagai contoh, jika Anda rutin salat malam, nafsu membuat Anda membicarakan tentang kondisi cuaca baik atau buruk pada subuh tersebut atau tentang doa dan azan Subuh, yang dapat merusak ibadah Anda dengan riya. Anda harus melawan semua kecenderungan tersebut.
·         Anda harus terus mengawasi diri, seperti dokter atau perawat, dan jangan biarkan sifat memberontak keluar terlampau jauh; untuk sesaat berilah kesempatan untuk beristirahat dan biarkan ketulusan yg memimpin Anda. Membersihkan niat dari segala macam dualitas (syirik), istikamah dengannya, dan tekun dalam pemurnian merupakan tugas sulit. 
·         obalah untuk mengingatkan diri sendiri dengan tugas. Nilailah niat dan perbuatan dari ayat Quran berikut: Katakan: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, (6:162). 
·         Selama Anda memiliki ego dan mengutamakan diri sendiri, mencintai kantor dan kedudukan, sekalipun Anda mengambil langkah untuk perolehan pengetahuan Ilahi atau kesempurnaan spiritual, semua ini akan dicari untuk tujuan ego semata. Mengutamakan Tuhan dan diri sendiri tidak bias dilakukan bersamaan. Sebaliknya, jika Tuhan dicari demi diri sendiri, tujuan utamanya adalah diri dan ego. [Al-Khomeini, Empat Puluh Hadis, bab 20, h.8]
Implikasi  
Niat tulus dan tujuan murni yang menentukan kesempurnaan ibadah dan juga keabsahannya. Ciri spiritual mengangkat karakter dan niat utama dalam jiwa, yang perbuatan itu sendiri adalah karakter kedua. Selama cinta diri (ego) tetap ada di dalam hati, dia tidak akan berjalan jauh menuju Allah (musafir ila Allah); namun dia adalah orang yang terikat dengan bumi (mukhalladun ila al-'ardh). Syirik dalam ibadah yang mencakup semua tingkatannya adalah penyertaan kesenangan dan kepuasan terhadap seseorang dan bukan Tuhan, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Jika puas kepada orang lain dan orang banyak, ia termasuk syirik lahiriah dan riya. Jika untuk kepuasaan (rida) seseorang, ini tersembunyi dan batinnya syirik. Dalam pandangan para ahli sufistik hal ini juga membatalkan ibadah dan membuatnya tidak diterima oleh Allah. Contohnya adalah melakukan tahajud untuk meningkatkan kehidupan seseorang atau memberikan zakat untuk meningkatkan kekayaan seseorang; Meskipun ibadah tersebut benar dan orang yg melakukannya dianggap menjalankan kewajiban dan memenuhi persyaratan syariah, mereka tidak dianggap tulus beribadah kepada Allah, tidak pula ditandai ketulusan niat dan kemurnia tujuan. Namun, ibadah macam ini bertujuan mencapai hasrat duniawi dan mencari objek terendah. Oleh karena itu, perbuatan orang itu tidaklah sah.
Jika seseorang membuat cinta kepada dunia dari hatinya dengan cara disiplin diri dan konsisten berjuang melawan hasrat duniawi, dia akan tenang, batiniah dan lahiriah. Jika seseorang meninggalkan kondisi diri menunju Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Quran: Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah... (4:100) dan menetap dalam perjalana spiritual dan bertemu kefanaan sempurna (fana'-e tamm), balasannya hanyalah dari Allah Ta'ala.  
BAB III
B.     PENUTUP
Langkah pertama dalam perjalanan menuju Tuhan adalah meninggalkan cinta diri dan menghancurkan ego. Ketika hal tersebut berhasil dilakukan, cinta Tuhan akan masuk ke dalam hati dan disucikan dari bahaya syirik (ego). Nabi Muhammad saw. bersabda: “Seseorang yg mengabdikan dirinya kepada Allah selama 40 hari, aliran kebijaksanaan akan mengalir dari hati dan lidahnya.” [Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, jil. 2, p. 237]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar