BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Syarat
diterimanya ibadah adalah rasa ikhlas. Sebagaimana diterangkan dalam ayat
Al-Qur'an (QS. Az-Zumar: 65): “Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada
(nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh, jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya
akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.".
Dengan ikhlas kita tidak akan tersesat ke jalan yang tidak diridhoi Allah,
dengan ikhlas pula kita tidak akan menjadi orang yang riya’ atau sombong,
karena sombong itu merupakan sifatnya iblis. Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, oleh
karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat,aku pasti akan jadikan
(kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka
semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih diantara mereka.” (QS. Al-Hijr:
39-40)
Imam
Jafar al-Shadiq a.s., ketika menjelaskan firman Allah, "Supaya Dia menguji
siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya." (67:2) berkata: "Ia
bukan berarti seseorang yang perbuatannya lebih banyak tapi seseorang yang
lebih benar perbuatannya, dan kebenaran ini tiada lain karena takut kepada
Allah, niat tulus, dan takwa." Kemudian beliau menambahkan: "Untuk
tekun dalam berbuat sampai menjadi ikhlas lebih sulit daripada (melakukan)
perbuatan itu sendiri, dan ketulusan perbuatan bersandar pada tidak
mengharapkan pujian orang lain kecuali Allah, dan niat menggantikan perbuatan
itu sendiri. Sungguh, niat adalah perbuatan itu sendiri. Kemudian beliau
membaca ayat, "Katakanlah, tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing (syakilatihi)", (17:84) menjelaskan, "Syakilah berarti
niat."
BAB II
PEMBAHASAN
a. Hakikat Ikhlas
Secara
bahasa, Ikhlas bermakna bersih dari
kotoran dan menjadikan sesuatu bersih dari kotoran. Sedangkan secara istilah,
Ikhlas berarti niat dengan mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa
menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Ikhlas
(ketulusan) dalam niat, berbuat, dan kemudian sungguh-sungguh dengannya
merupakan tingkat cinta dan penghambaan tertinggi kepada Allah. Ikhlas
didefinisikan dan dijelaskan sebagai berikut: `Arif terhormat dan bijak,
Khwajah `Abd Allah al-Ansari (qs) berkata: “Ikhlas berarti mensucikan perbuatan
dari semua kotoran.” 'Kotoran' berarti hasrat untuk menyenangkan diri sendiri
dan makhluk lain.
Ulama
besar Syekh al-Baha'i (ra) meriwayatkan bahwa orang-orang yang mencintai Allah
dengan hati berkata: "Ikhlas menjaga perbuatan bebas dari peran selain-Nya
dan pelaku perbuatan tidak menginginkan imbalan apapun di dunia dan
akhirat."
Nabi
Muhammad saw. bersabda bahwa Allah berfirman: “Ikhlas adalah rahasia di antara
rahasia-rahasia-Ku dan Aku menempatkannya di hati hambahamba yang Kucintai.”
[Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 70, h. 249, hadis # 24]
Siapakah
Mukhlishun (Orang-Orang yang Ikhlas)?
Allah mengundang hamba-hamba-Nya
kepada-Nya dengan cara mereka harus membersihkan jiwa dari sesembahan lain dan
membuat mereka memusatkan perhatian kepada-Nya.
Mukhlisun adalah mereka yang
menyembah Allah sedemikian sehingga tidak melihat jasa mereka atau tidak
memperhatikan dunia dan orang-orangnya; diri dan perilaku mereka sepenuhnya
milik Allah. Dengan demikian, keadaan ibadah mereka adalah 'din' yang Allah
Swt. pilihkan. Dia berfirman: Ingat, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih
(al-din al-khalis). (39:3)
Diriwayatkan dari arif besar Syekh
al-Muhaqqiq Muhyi al-Din Ibn al-`Arabi bahwa dia berkata: 'Ingat, kepada
Allahlah kesetiaan yang tulus,' bebas dari noda dan egoisme. Penyatuan Anda
dengan-Nya harus total, Zat; Sifat, Amal, dan din harus terikat denganmu.
Ingatlah, jika kesetiaan tidak tulus dengan kenyataan, ia tidak akan menjadi
milik Allah." Pengabdian tulus
merupakan jejak manifestasi (tajalliyat) dari Kekasih (Allah) dan tidak
melewati melalui hati mereka kecuali Zat Tuhan yang Mahaesa
Ikhlas dalam Berbuat
Seseorang
harus melatih kewaspadaan karena beberapa kali terjadi seseorang melakukan
perbuatan dengan tulus, sempurna, tidak riya atau ujub tapi setelah selesai
perbuatan itu, ia terkena riya dengan menyebutkannya kepada orang lain sebagaimana
ditunjukkan dalam hadis mulia berikut:
Imam
al-Baqir a.s. berkata: "Ketekunan dalam berbuat lebih sulit dari perubatan
itu sendiri." Beliau ditanya, "Apa maksud tekun dalam berbuat?"
Beliau menjawab, "Seseorang melakukan kebaikan kepada saudara atau
melakukan sesuatu tulus kepada Allah, yang Esa tanpa sekutu. Kemudian pahal
kebaikan ditulis untuknya diam-diam. Kemudian, ia menyebutkannya kepada
seseorang dan itu berarti apa yg ditulis untuknya terhapus. Kemudian, ketika ia
menyebutnya lagi, penyakit riya dituliskan untuknya." [Al-Kulaini al-Kafi,
kitab al-'iman wa al-kufr, bab al-riya', hadis # 16]
Bagaimana Menjaga
Keikhlasan–beberapa poin praktis
·
Jika Anda telah melakukan
perbuatan baik semata-mata karena Allah, membantu orang lain atau melakukan
kewajiban ibadah kemudian Anda tahu tidak pernah bisa aman dari kejahatan setan
dan nafsu amarah sampai akhir hidup Anda.
·
Anda harus waspada, karena
Anda merasa rendah hati dapat membuat Anda menyebut (kebaikan) di hadapan
teman-teman Anda, atau mengatakan dengan halus secara tidak langsung. Sebagai
contoh, jika Anda rutin salat malam, nafsu membuat Anda membicarakan tentang
kondisi cuaca baik atau buruk pada subuh tersebut atau tentang doa dan azan
Subuh, yang dapat merusak ibadah Anda dengan riya. Anda harus melawan semua
kecenderungan tersebut.
·
Anda harus terus mengawasi diri,
seperti dokter atau perawat, dan jangan biarkan sifat memberontak keluar
terlampau jauh; untuk sesaat berilah kesempatan untuk beristirahat dan biarkan
ketulusan yg memimpin Anda. Membersihkan niat dari segala macam dualitas
(syirik), istikamah dengannya, dan tekun dalam pemurnian merupakan tugas
sulit.
·
obalah untuk mengingatkan
diri sendiri dengan tugas. Nilailah niat dan perbuatan dari ayat Quran berikut:
Katakan: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam, (6:162).
·
Selama Anda memiliki ego dan
mengutamakan diri sendiri, mencintai kantor dan kedudukan, sekalipun Anda
mengambil langkah untuk perolehan pengetahuan Ilahi atau kesempurnaan
spiritual, semua ini akan dicari untuk tujuan ego semata. Mengutamakan Tuhan
dan diri sendiri tidak bias dilakukan bersamaan. Sebaliknya, jika Tuhan dicari
demi diri sendiri, tujuan utamanya adalah diri dan ego. [Al-Khomeini, Empat
Puluh Hadis, bab 20, h.8]
Implikasi
Niat tulus dan tujuan murni yang menentukan
kesempurnaan ibadah dan juga keabsahannya. Ciri spiritual mengangkat karakter
dan niat utama dalam jiwa, yang perbuatan itu sendiri adalah karakter kedua.
Selama cinta diri (ego) tetap ada di dalam hati, dia tidak akan berjalan jauh
menuju Allah (musafir ila Allah); namun dia adalah orang yang terikat dengan
bumi (mukhalladun ila al-'ardh). Syirik dalam ibadah yang mencakup semua
tingkatannya adalah penyertaan kesenangan dan kepuasan terhadap seseorang dan
bukan Tuhan, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Jika puas kepada orang
lain dan orang banyak, ia termasuk syirik lahiriah dan riya. Jika untuk
kepuasaan (rida) seseorang, ini tersembunyi dan batinnya syirik. Dalam
pandangan para ahli sufistik hal ini juga membatalkan ibadah dan membuatnya
tidak diterima oleh Allah. Contohnya adalah melakukan tahajud untuk
meningkatkan kehidupan seseorang atau memberikan zakat untuk meningkatkan
kekayaan seseorang; Meskipun ibadah tersebut benar dan orang yg melakukannya
dianggap menjalankan kewajiban dan memenuhi persyaratan syariah, mereka tidak
dianggap tulus beribadah kepada Allah, tidak pula ditandai ketulusan niat dan
kemurnia tujuan. Namun, ibadah macam ini bertujuan mencapai hasrat duniawi dan
mencari objek terendah. Oleh karena itu, perbuatan orang itu tidaklah sah.
Jika seseorang membuat cinta kepada dunia dari
hatinya dengan cara disiplin diri dan konsisten berjuang melawan hasrat
duniawi, dia akan tenang, batiniah dan lahiriah. Jika seseorang meninggalkan
kondisi diri menunju Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Quran: Barang
siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka
sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah... (4:100) dan menetap dalam
perjalana spiritual dan bertemu kefanaan sempurna (fana'-e tamm), balasannya
hanyalah dari Allah Ta'ala.
BAB III
B.
PENUTUP
Langkah pertama dalam
perjalanan menuju Tuhan adalah meninggalkan cinta diri dan menghancurkan ego.
Ketika hal tersebut berhasil dilakukan, cinta Tuhan akan masuk ke dalam hati
dan disucikan dari bahaya syirik (ego). Nabi Muhammad saw. bersabda: “Seseorang
yg mengabdikan dirinya kepada Allah selama 40 hari, aliran kebijaksanaan akan
mengalir dari hati dan lidahnya.” [Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, jil. 2, p.
237]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar