Powered By Blogger

Minggu, 18 Maret 2018

Self-Esteem Pada Siswi SMK Perkapalan


BAB 1
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Masa remaja adalah masa dimana pencarian jati diri pada diri di mulai. Khususnya masa-masa peralihan dari sekolah menengah pertama menuju sekolah menengah keatas. Banyak sekali fenomena dan kasus perubahan psikomotorik, perubahan fisik bahkan perilaku-perilaku yang dialami oleh kebanyakan remaja. Masa remaja seharusnya menjadi masa dimana anak dapat bebas mencari segala pengalaman dan keinginan dalam diri mereka masing-masing.
Namun, masa remaja tengah khususnya umur 15-16tahun akan sering muncul berbagai permasalahan karena perkembangan fisik, emosi, maupun psikomotorik mereka seperti merasa canggung ketika bergaul bersama teman-teman sebayanya, gejala emosional ketika menstruasi seperti merasa malu, dan lain-lainnya. Hal ini pula semestinya juga dialami oleh siswi-siswi yang baru menginjak sekolah menengah atas atau menengah kejuruan, dengan latar belakang sekolah dan lingkungan sekolah yang berbeda maka pandangan mereka terhadap diri mereka sendiri mungkin akan berbeda.
Self-esteem secara harfiah Rosenberg (dalam Nur Yuli & Ike, 2013) mendefinisikan self-esteem sebagai suatu sikap tertentu yang dipikirkan berdasarkan persepsi perasaan, yaitu perasaan tentang “harga” seseorang atau nilai sebagai individu. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya self-esteem seseorang, diantaranya adalah pendidikan dan pekerjaan. Bulut, Gurkan, dan Sevil (dalam Gozuyllmaz & Baran, 2010). Sekolah menengah atas negeri dan sekolah menengah kejuruan perkapalan merupakan 2 jenis sekolah yang latar belakangnya berbeda, dimana sekolah menengah atas negeri tidak memiliki “kaum” mayoritas dan minoritas yang artinya mereka seimbang antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan di sekolah menengah kejuruan perkapalan merupakan sekolah dengan mayoritas adalah siswa laki-laki.
Hal yang urgent dalam permasalahan self-esteem pada siswi-siswi yang merupakan kelompok minoritas adalah bagaimana mereka memandang diri mereka rendah dan tidak dapat berkembang. Sedangkan para remaja adalah mereka yang sangat membutuhkan self-esteem yang tinggi karena self-esteem dapat menunjang mereka lebih berprestasi dan menjadi pribadi yang senantiasa berkembang. Karena menurut Coopersmith (dalam Moniaga, 2015) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki self-esteem yang lebih tinggi memiliki bebrapa karakteristik seperti :
1.             Lebih dipilih untuk menjadi teman.
2.             Terlihat lebih mudah bergaul dan memiliki teman baru.
3.             Dalam suatu kelompok diskusi terlihat lebih aktif dibandingkan hanya sebagai pendengar saja.
4.             Lebih tinggi tingkat konformitasnya.
5.             Memiliki nilai yang tinggi dalam pengukuran atau tes kreativitas.
6.             Lebih outspoken.
7.             Kurang sensitif terhadap kritikan-kritikan
8.             Kesadaran diri (self-conscious) yang rendah
         Kelompok yang merupakan kelompok minoritas cenderung memiliki pandangan yang berbeda tentang dirinya, terlebih bagaimana cara dirinya memandang harga dirinya yang justru bertentangan dengan hal-hal yang disebutkan sebelumnya seperti yang diperoleh pada penelitian tentang siswi SMK sebelumnya yaitu merasa rendah diri, prestasi kurang, kurang percaya diri.  Karena berdasarkan aspek penerimaan diri dan kepercayaan diri siswi SMK lebih rendah dibandingkan dengan siswi SMA.  Pernyataan ini juga dijelaskan melalui contoh kasus yang disebutkan (Sullivan&Sullivan and Cleary, 2004) bahwa self-esteem yang cenderung rendah dapat menyebabkan tindakan bullying yaitu meliputi dilukai secara fisik, verbal, dan nonverbal. Beberapa diantaranya yang sering terjadi, yaitu melalui tendangan, pukulan, hantaman, diludahi, gigitan, mengolok-olok, mencaci-maki, menyindir, mengancam kekerasan, menyebarkan berita bohong, melakukan gerakan yang kasar atau bermuka galak secara sengaja, dan menulis surat yang bermaksud mencemooh.
Maka dari itu peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan mereka yang dalam hal ini adalah siswi di sekolah menengah kejuruan perkapalan yang merupakan kelompok minoritas di lingkungan sekolah mereka memandang bagaimana self-esteem yang meliputi kepercayaan diri dan penghargaan diri mereka.

2.      Fokus Penelitian
Berfokus pada ­self-esteem siswi SMK Perkapalan kelas 10 yang baru menjadi seorang siswi sekolah menengah atas.
3.      Tujuan Penelitian
            Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui self-esteem yang meliputi kepercayaan diri dan penghargaan diri pada siswi SMK perkapalan yaang kebanyakan siswanya merupakan siswa laki-laki.
4.      Paradigma
Paradigma alamiah lahir sebagai paradigma yang ingin memodifikasi kelemahan – kelemahan yang terdapat pada paradigma positivisme. Paradigma postpositivisme berpendapat bahwa peneliti tidak bisa mendapatkan fakta dari suatu kenyataan apabila si peneliti membuat jarak (distance) dengan kenyataan yang ada.Paradigma ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif (Emzir, 2011)
Paradigma postpositivisme lahir sebagai paradigma yang ingin memodifikasi kelemahan – kelemahan yang terdapat pada paradigma positivisme. Paradigma postpositivisme berpendapat bahwa peneliti tidak bisa mendapatkan fakta dari suatu kenyataan apabila si peneliti membuat jarak (distance) dengan kenyataan yang ada. Hubungan peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif. Oleh karena itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi, yaitu penggunaan bermacam – macam metode, sumber data,dan data. (Tahir, 2011: 57-58)
5.      Manfaat Penelitian
a.       Bagi Pembaca
Mengetahui bagaimana self-esteem pada siswi SMK Perkapalan sebagai kelompok minortitas yang berada pada lingkungan mayoritas laki-laki. Serta dapat memanfaatkan pengetahuan mengenai ­self-esteem dengan sebagaimana mestinya.
b.      Bagi Psikolog Sosial
Menambah wawasan keilmuanUntuk lebih teliti dan memperbanyak jumlah subjek yang digunakan untuk penelitian ini agar penelitian selanjutnya dapat memperoleh hasil yang lebih akurat dan lebih baik.
c.       Bagi Instansi atau Lembaga Pendidikan
Setelah dilakukannya penelitian ini diharapkan informasinya dapat berguna bagi sekolah khususnya untuk membantu pengembangan self esteem siswa/i.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.      Self-esteem
Self-esteem secara harfiah diartikan oleh Rosenberg (dalam Emler,2001) sebagai sikap positif atau negatif individu terhadap diri sebagai totalitas. Dalam penelitian ini definisi dari harga diri yang digunakan adalah penjelasan dari Morris Rosenberg karena alat ukur yang digunakan adalah alat ukur yang diadaptasi dari Rosenberg self-esteem scale (RSES).
Santrock (dalam Moniaga, 2015) menyebutkan bahwa self-esteem adalah dimensi evaluasi secara keseluruhan mengenai diri. Self-esteem juga mengarah kepada self-worth atau self-image. Selanjutnya self-esteem dapat diartikan sebagai penghargaan diri. Penghargaan diri adalah kebutuhan manusiawi yang kuat. Kebutuhan manusiawi mendasar yang memberikan kontribusi sangat penting terhadap proses kehidupan yang sangat penting bagi perkembangan yang normal dan sehat, karena penghargaan diri memiliki nilai bertahan hidup.
Aspek-aspek self-esteem menurut Rosenberg (dalam Emler,2001) yaitu:
1.      Aspek Penerimaan diri
Yaitu aspek yang menunjukan bahwa diri sesorang dapat membanggakan dirinya, menerima segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliknya, dan menganggap dirinya bermanfaat.
2.      Aspek penghargaan diri
Individu dapat melakukan apa yang orang lain dapat lakukan, dan merasa diri itu sejajar dan dengan orang lain. Individu juga dapat meyakinkan dirinya bahwa akan menjadi orang yang berhasil menyelesaikan sesuatu.
Branden (dalam Moniaga, 2015) menyebutkan self-esteem adalah pengalaman bahwa kita pantas dengan hidup ini dan pada prasyarat hidup. Secara lebih spesifik, self-esteem adalah, pertama, keyakinan didalam kemampuan individu untuk berfikir dan menghadapi tuntutan hidup. Kedua, keyakinaan di dalam hak individu untuk bahagia, perasaan berharga, layak, diizinkan, untuk menilai kebutuhan dan keinginan individu serta menikmati buah dari kerja kerasnya.
Menurut Frey dan Carlock (dalam Moniaga, 2015) Self esteem memiliki komponen-komponen. Ada dua komponen dalam self-esteem yang berasal dari dalam diri individu yakni:
1.    The sense of personal efficacy : yakni perasaan kompeten dalam diri individu sehubungan dengan realitas keberadaan dirinya.
2.    The sense personal worth : perasaan yang mencakup penerimaan diri dan penghargaan atau respek individu terhadap dirinya sendiri.
Menurut Branden (dalam Moniaga, 2015) self-esteem sendiri mempunyai dua aspek yang saling berkaitan yakni :
1.    Perasaan bahwa diri efektif (Keefektifan diri). Berarti keyakinan dalam berfungsinya pemikiran, dalam kemampuan untuk berfikir, dalam proses dimana individu berfikir, dalam proses dimana individu menilai, memilih, memutuskan; keyakinan dalam kemampuan untuk memahami fakta-fakta yang berada dalam batasan-batasan minat dan kebutuhan yang diinginkan, kepercayaan diri yang kognitif, serta keadaan diri yang kognitif.
2.    Rasa harga diri (self respect). Berarti suatu sikap tegas untuk menuju hak pribadi untuk hidup dan bahagia; kenyamanan dalam menegaskan pemikiran, keinginan, dan kebutuhan; perasaan bahwa suka cita adalah warisan yang paling alami.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem
Pola asuh
Pembentukan diri seorang anak berangkat dari pengasuhan orang tua di rumah. Individu yang memiliki self-esteem yang tinggi memiliki orang tua yang supportif, menciptakan kehangatan, perhatian, mendorong anak memupuk standar prilaku yang tinggi, membimbing mereka dan membuat keputusan yang tepat Coopersmith (dalam Moniaga, 2015).
Peers presure
Pengalaman anak dalam kelompoknya mempengaruhi bagaimana seharusnya bersikap dan mempersepsikan dirinya dan lingkungannya. Sejauh mana dapat mengembangkan keterampilan diri dan lingkungan sosial bersama teman dan pengalaman bersama teman lebih besar dari pada bersama keluarga, hal ini berpengaruh terhadap self-esteem Thorne & Michaelieu (dalam Moniaga,2015). Remaja merasakan betapa besar pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Jenis kelamin
Pengaruh jenis kelamin pada individu salah satunya pertumbuhan fisik yang diakibatkan masa pubertas. Di mana perempuan cenderung lebih memperhatikan perubahan fisiknya dan penerimaan temen sebaya. Simon & Rosenberg (dalam Moniaga, 2015).
Pola pikir
Dapat diketahui bahwa pola pikir seorang tersebut sangat berpengaruh dengan bagaimana seseorang memandang dirinya dalam hidup. Motivasi motivasi apa yang tersimpan dalam diri seseorang sangat mempengaruhi pola pikir seseorang yang kemudian akan mempengaruhi pembentukan selfesteem nya.
Pengalaman masa lalu
Pengalam masa lalu seseorang sangat berpengaruh terhadap apa yang dijalani seseorang dimasa yang akan datang. Begitu juga dalam hal pembentukan self-esteem seseorang. Pengalaman masa lalu terutama trauma-trauma terdahulu menyebabkan seseorang mulai membentuk self-esteem yang sesuai dengan trauma dan pengalaman tersebut.
Status sosial
Status sosial seseorang dikatakan berpengaruh terhadap self-esteem seseorang dikarenakan biasanya anak atau remaja yang berasal dari keluarga denga tingkat ekonomi kebawah, dengan kata lain uang hanya cukup untuk makan. Akan memiliki self-esteem yang rendah jika dibandingkan dengan anak remaja dari kalangan menengah keatas.
Prestasi
Prestasi merupakan tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan seseorang. Bukan hanya dalam hal akademik namun juga dalam hal karir atau pekerjaan dan kehidupan sosial. Melalui prestasi orang-orang dapat melihat pencapaian yang telah dicapai.
Nilai dari keyakinan yang dianut
Nilai dari keyakinan yang dianut, di sini dimaksudkan bahwa, bagaimana seseorang memandang kepercayaan atau agamanya sebagai pegangan hidupnya.
2.      Kelompok Minoritas
Dalam hal ini adalah siswi SMK Perkapalan yang diposisikan sebagai subjek dan dinilai menjadi subjek kelompok minoritas. Graham C. Lincoln (dalam Yogi, 2014) mendefinisi kelompok minoritas sebagai kelompok yang dianggap oleh elit-elit sebagai berbeda dan/atau inferior atas dasar karakteristik tertentu dan sebagai konsekuensi diperlakukan secara negatif.
Secara harfiah dari pengertian kelompok minoritas dapat ditarik dugaan bahwa kelompok minoritas dapat mempengaruhi bagaimana cara pandang individu yang ada didalam kelompok tersebut untuk memandang bagaimana dirinya. Seberapa besar kemampuannya, seberapa berani, atau mungkin seberapa berharga dia dimata orang lain. Keberadaan kelompok minoritas di sekolah yang berlatar belakang semi militer seperti SMKN 3 Perkapalan Buduran, yang dalam hal ini adalah siswi juga akan mempengaruhi bagaimana para siswi SMK tersebut memiliki pandangan yang berbeda tentang diri mereka.


BAB III
METODOLOGI

A.    Deskripsi latar dan sumber data
Pendeskripsian latar yang telah dipaparkan melalui fenomena-fenomena tersebut dapat dilakukan dengan observasi terlebih dahulu dan berdasarkan penelitian yang sudah ada. Kemudian peneliti terjun untuk mendapatkan data melalui subjek yang sudah ditentukan yaitu siswi pada sekolah menengah kejuruan perkapalan.
Sekolah menengah kejuruan yang dimaksud adalah SMK Perkapalan 3 Sidoardjo Jalan Jenggolo No.1-C, Sidoarjo Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang memiliki jumlah siswa pada tahun ajaran 2016-2017 berjumlah 1.228 siswa laki-laki dan 172 siswa perempuan. Sekolah menengah kejuruan ini berbasis pendidikan dan pengetahuan seputar kendaraan laut yang jurusannya merupakan tentang teknik seperti teknik las kapal dan konstruksi kapal.
Sumber data diperoleh merupakan data dari subjek yang sudah ditentukan. Subjek berjumlah tiga orang dan sumber data yang lain yaitu berasal dari pelatih paskibra di sekolah tersebut beserta beberapa guru yang mengajar di SMKN 3 Perkapalan Buduran tersebut.
B.     Metodologi penelitian
Metode pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan dilakukan observasi dan wawancara. Observasi menurut Kartono (dalam Basuki, 2006) adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Kemudian menurut Stewart dan Cash (1982) mengemukakan bahwa wawancara merupakan proses komunikasi dua pihak dengan tujuan yang telah ditentukan, dibuat untuk pertukaran perilaku (verbal & non verbal) dan prosesnya berupa bertanya dan menjawab pertanyaan. Jadi, wawancara adalah proses interaksi (pertukaran peran, respon, perasaan, keyakinan, motivasi, dan informasi). Alasan peneliti menggunakan wawancara sebagai metode pengambilan data adalah memungkinkan pewawancara untuk mengembangkan pertanyaan sesuai dengan situasi yang ada.
Peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian ini bertindak sebagai peneliti yang bertugas untuk mencari informasi dari subjek yang telah ditentukan ciri-cirinya. Peneliti juga melakukan analisa data hasil penelitian yang berupa data observasi dan data wawancawa.
Penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian Sarantakos (dalam Poerwandi, 2005). (Rosenberg & Rosnow, 1984) menyatakan bahwa apabila data yang diperoleh sudah cukup mendalam, maka subjek dalam jumlah kecil pun dapat memadai penelitian. Maka dari itu, dalam penelitian kali ini peneliti menargetkan untuk mendapatkan tiga subjek saja karena dilihat dari jumlah subjek tersebut cukup mewakili untuk mendapatkan informasi tentang penelitian ini.
Purposive Sampling menurut Sugiono (2012) menjelaskan bahwa merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pada penelitian kualitatif ini kami mencari subjek dengan cara purposive sampling dengan bertujuan untuk mendapatkan subjek yang memenuhi kriteria, yaitu berjenis kelamin perempuan, sekolah di SMK Perkapalan 3 Sidoarjo, memiliki kepribadian introvert (tidak memiliki banyak teman dan pendiam). 
C.    Data dan sumber data
Data dan sumber penelitian berasal dari jurnal dan buku tentang self-esteem dan juga dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh salah satu anggota kelompok kami. Dan yang menjadi sumber data dari penelitian ini adalah tiga subjek yang sudah kita tentukan sebelumnya. Sebelumnya dipersiapkan kuisioner tersebut dengan berisi indikator-indikator pertanyaan seputar tema penelitian dan berdasarkan aspek-aspek dari teori tersebut. Serta orang lain atau significant others yang memberikan informasi untuk penelitian ini untuk menambah keabsahan penelitian. Data yang diperoleh mengenai self-esteem meliputi individu yang memiliki self-esteem yang lebih tinggi memiliki bebrapa karakteristik seperti Lebih dipilih untuk menjadi teman, Terlihat lebih mudah bergaul dan memiliki teman baru, Dalam suatu kelompok diskusi terlihat lebih aktif dibandingkan hanya sebagai pendengar saja, Lebih tinggi tingkat konformitasnya, Memiliki nilai yang tinggi dalam pengukuran atau tes kreativitas, Lebih outspoken, Kurang sensitif terhadap kritikan-kritika, dan Kesadaran diri (self-conscious) yang rendah
         Kelompok yang merupakan kelompok minoritas cenderung memiliki pandangan yang berbeda tentang dirinya, terlebih bagaimana cara dirinya memandang harga dirinya yang justru bertentangan dengan hal-hal yang disebutkan sebelumnya seperti yang diperoleh pada penelitian tentang siswi SMK sebelumnya yaitu merasa rendah diri, prestasi kurang, kurang percaya diri.  Karena berdasarkan aspek penerimaan diri dan kepercayaan diri siswi SMK lebih rendah dibandingkan dengan siswi SMA.
D.    Prosedur pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan dokumen wawancara yang diperoleh dari wawancara dengan subjek yang sudah direncanakan pertemuan sebelumnya.
a.       Pra-penelitian
Membuat rancangan penelitian, guide observasi, dan guide wawancara
b.      Penelitian
Melakukan observasi dan wawancara terhadap subjek penelitian ditempat dan waktu yang telah direncanakan.
c.       Pasca-penelitian
Mengumpulkan keseluruhan hasil penelitian dan melakukan analisa. Kemudian menyimpulkan keseluruhan hasil penelitian tersebut.
E.      Analisa data
1.      Reduksi data
Data yang diperoleh dari wawancara yang telah dilakukan dikelompok-kelompokan sesuai dengan aspek indikator kemudian akan dianalisa dengan mereduksi data yang diperoleh. Menurut (Miles & Huberman, 1994) reduksi data merupakan salah satu teknik analisis data kualitatif. Reduksi data adalah bentuk analisa yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, dan yang membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil.
2.      Penyajian data
Setelah mereduksi data langkah analisis selanjutnya yaitu akan dilakukan penyajian data. Penyajian data merupakan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Milles dan Huberman, 1994). Penyajian data dilakukan agar data hasil reduksi lebih mudah dipahami.
3.      Menarik kesimpulan
Pada tahap ini adalah tahap terakhir setelah dilakukan penyajian data reduksi. Menarik kesimpulan atau verifikasi adalah usaha untuk mencari atau memahami makna, keteraturan pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat atau proporsisi.
F.        Pemeriksaan keabsahan data
Pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data dengan manfaatkn sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data penelitian. Salah satu macam triangulasi adalah yaitu, metode yang dilakukan dengan cara :
a). Pengecekan kridibilitas penemuan hasil penelitian dengan teknik pengumpulan data, salah satunya yaitu menggunakan teknik check list.
b). Cek kridibilitas beberapa sumber data dengan metode yaitu didapatkan data dari significant others


DAFTAR PUSTAKA
Basuki, S. 2006. Metode Penelitian. Jakarta:Wedatama Widya Sastra
Emler, N. 2001. Self-esteem: The costs and cause s of low self worth. Layerthorpe: Joseph Rowntree Foundation
Emzir. 2011.Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif.Jakarta:Rajawali Pers.
Milles, M.B. dan A.M. Huberman. 1994. Qualitative Data Analyse. California: SAGE Publications Inc
Moniaga, A J. 2015. Pengaruh Self Esteem Terhadap Motivasi Mengunggah Foto di Kalangan Remaja Putri Jakarta Barat. Jakarta:Universitas Binus
Sullivan, Keith, Mark Cleary. 2004. Bullying in Secondary Schools. Corwin Press, California.
Tahir, Muh, 2011. Pengantar Metodologi Penelitian Pendidikan.Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.
Yuli. Nur & Ike H. 2012. Hubungan Antara Self-Esteem  dengan Intensi Perilaku Prososial Donor Darah Pada Donor Di Unit Donor Darah Pmi Surabaya. Surabaya. Universitas airlangga Surabaya

Sabtu, 17 Maret 2018

PERANAN PSIKOLOGI OLAHRAGA DALAM MENTAL PARA ATLET


a.      Latar Belakang
Sering kita dapati bahwasannya dalam beberapa pertandingan didapati para pemain melakukan hal tidak pantas dilakukan oleh atlet profesional seperti kepercayaan diri rendah , motivasi bertanding menurun, kekecewaan saat bermain. Hal yang demikian terjadi karna disaat para atlet berlatih tidak mendapatkan pendampingan pendampingan yang intens dalam hal penanganan mental, sehingga tidak terwujudnya atlet yang berkualitas. Karna apabila sistem latihan dan aspek penunjang  kurang mendapat perhatian secara serius, kemungkinan besar atlet tersebut banyak mengalami masalah, sehingga tidak dapat berprestasi secara optimal. Sampai saat ini pelatih masih banyak menekankan latihan pada atletnya hanya pada fisik, teknik, dan taktik saja, sedangkan faktor psikologis sama sekali tidak tersentuh. Sehingga banyak atlet pada saat bertanding tidak ada keseimbangan antara fisik dan psikologis. Menurut R. Feizal (2000: 19) dalam bertanding atlet akan menggunakan mentalnya sebesar 80 %, sedangkan taktik dan strategi hanya 20 %. Oleh karena itu pelatihan mental sama pentingnya dengan pelatihan taktik dan teknik.
Manusia merupakan kesatuan  dari jiwa dan raga,  yang satu dengan yang lainnya selalu akan saling pengaruh mempengaruhi. Pengaruh yang dirasakan oleh jiwa kita akan berpengaruh terhadap raga kita, demikian pula sebaliknya. Pada waktu berolahraga, terutama olahraga pertandingan, atlet yang melakukan gerakan-gerakan fisik tidak mungkin akan menghindarkan  diri dari pengaruh mental emosional yang timbul dalam berolahraga. Oleh karena itu pengetahuan yang berhubungan dengan masalah-masalah kejiwaan dalam olahraga penting bagi guru, pelatih, olahragawan, atau siapa saja yang berkecimpung dalam kegiatan olahraga, karena masalah kejiwaan mempunyai pengaruh yang penting, bahkan kadang-kadang menentukan di dalam usaha orang atau atlet untuk mencapai prestasi yang setinggi tingginya  (Harsono, 1988: 242).
Memperhatikan hal tersebut di atas, seorang pelatih tidak perlu ragu lagi memasukkan program psikologis setara bobotnya dengan latihan yang lain,  karena  pada saat bertanding 80 % ditentukan oleh keadaan psikologis seorang atlet. Tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan iniialah untuk memproduktifkan kualitas permainanpara atlet dalam setiap pertandingan dengan penguatan mental pada atlet. Sehingga teridentifikasi sikap yang perlu segera dilakukan untuk atlet.

b.      Landasan teori
a.       Pengertian Mental
Menurut Kartini Kartono, dkk. (1989: 3) mental berasal dari kata latin yang artinya jiwa atau sukma, sedangkan menurut R. Feizal (200: 2) psikologi olahraga adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam aktivitasnya sebagai seorang atlet.
b.      Teori kepercayaan diri
kepercayaan diri adalah keyakinan atau tingkat kepastian yang dimiliki oleh seseorang tentang kemampuannya untuk bisa sukses dalam olahraga (Wann, 1997).
c.       Self Efficacy 
Teori yang membahas tentang kepercayaan diri disampaikan oleh Albert Bandura. Bandura menyampaikan teori yang bernama teori Self efficacy. Kepercayaan diri adalah penilaian seseorang terhadap kemampuan mereka untuk mengorganisasi dan mengeksekusi setiap bagian dari aksi yang dibutuhkan untuk mencapai penampilan yang diinginkan. Hal ini tidak hanya menggunakan keterampilan yang dimiliki tapi dengan pandangan tentang apa yang bisa dilakukan seseorang dengan keterampilan apapun yang dimiliki. (Bandura 1986: 391 dalam Biddle & Mutrie 2001)
Pembahasan
Mental dalam arti khusus adalah suatu kemampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya yang mengakibatkan kemampuan tertentu dan pencapaian tertentu (Kamus Psikologi I).
Perkembangan mental merupakan suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan social psikologi manusia/remaja pada posisi yang harmonis di dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas dan kompleks. Menurut Havighurst perkembangan tersebut harus di pelajari, dijalani dan dikuasai oleh setiap individu dalam perjalanan hidupnya. Hal ini merupakan tugas yang cukup berat bagi para remaja untuk lebih menuntaskan tugas perkembangan mentalnya sehubungan dengan semakin luas dan kompleksnya kondisi kehidupan yang harus di jalani dan di hadapi. Tidak lagi mereka dijuluki sebagai anak-anak melainkan ingin dihargai dan dijuluki sebagai orang yang sudah dewasa. Ada beberapa cara untuk melatih mental agar kuat diantaranya adalah


a. Berpikir positif
 Berpikir positif dimaksudkan sebagai cara berpikir yang mengarahkan sesuatu ke arah positif, melihat segi baiknya. Hal ini perlu dibiasakan bukan saja oleh atlet, tetapi bagi pelatih yang melatihnya. Dengan membiasakan diri berpikir positif, maka akan berpengaruh sangat baik untuk menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi, dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.  
b. Penetapan sasaran
 Penetapan sasaran (goal setting) merupakan dasar dari latihan mental. Pelatih perlu membantu setiap atletnya untuk menetapkan sasaran, baik sasaran dalam latihan maupun dalam pertandingan. 
c. Motivasi
 Motivasi dapat dilihat sebagai suatu proses dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu sebagai usaha dalam mencapai tujuan tertentu. Motivasi yang kuat menunjukkan bahwa dalam diri orang tersebut tertanam dorongan kuat untuk dapat melakukan sesuatu.
d. Emosi
 Faktor-faktor emosi dalam diri atlet menyangkut sikap dan perasaan atlet secara pribadi terhadap diri sendiri, pelatih maupun hal-hal lain di sekelilingnya.. Bentuk-bentuk emosi dikenal sebagai perasaan, seperti senang, sedih, marah, cemas, takut, dan sebagainya. Bentuk-bentuk emosi tersebut terdapat pada setiap orang. Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana kita mengendalikan emosi tersebut agar tidak merugikan diri sendiri.
e. Kecemasan dan ketegangan
 Kecemasan biasanya berhubungan dengan perasaan takut akan kehilangan sesuatu, kegagalan, rasa salah, takut mengecewakan orang lain, dan perasaan tidak enak lainnya. Kecemasan-kecemasan tersebut membuat atlet menjadi tegang, sehingga bila ia terjun ke dalam pertandingan dapat dipastikan penampilannya tidak akan optimal. 
f.    Kepercayaan diri
 Dalam olahraga kepercayaan diri menjadi salah satu faktor penentu suksesnya seorang atlet. Masalah kurang atau hilangnya rasa percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri akan mengakibatkan atlet tampil di bawah kemampuannya. Karena itu sesungguhnya atlet tidak perlu merasa ragu akan kemampuannya, sepanjang ia telah berlatih secara sungguh-sungguh dan memiliki pengalaman bertanding yang memadai.
g.   Komunikasi
 Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi dua arah, khususnya antara atlet dengan pelatih. Masalah yang sering timbul dalam hal kurang terjadinya komunikasi yang baik antara pelatih dengan atletnya adalah timbulnya salah pengertian yang menyebabkan atlet merasa diperlakukan tidak adil, sehingga tidak mau bersikap terbuka terhadap pelatih. 
h. Konsentrasi
 Konsentrasi merupakan suatu keadaan dimana kesadaran seseorang tertuju kepada suatu objek tertentu dalam waktu tertentu. Makin baik konsentrasi seseorang, maka makin lama ia dapat melakukan konsentrasi. Dalam olahraga, konsentrasi sangat penting peranannya. Dengan berkurangnya atau terganggunya konsentrasi atlet pada saat latihan, apalagi pertandingan, maka akan timbul berbagai masalah.  
i. Evaluasi diri
 Evaluasi diri dimaksudkan sebagai usaha atlet untuk mengenali keadaan yang terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar atlet dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan dirinya pada saat yang lalu maupun saat ini.
j. Membuat Tantangan-tantangan untuk diri sendiri,
misalnya membuat sasaran antara dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Dapat juga membuat sasaran harian, mingguan atau bulanan selama dalam proses berlatih sehingga atlet termotivasi untuk mencapai sasaran tersebutsebagai batu loncatan menuju sasaran yang sesungguhnya. Atlet bias diminta untuk menanyakan beberapa hal seperti
            a. Today my session will contain the following aspects:. . . .
b. As a result of this training I will improve my . . .
c. These skills are important during competitions, because . . .
 Teknik ini sangat efektif selama tantangan yang diberikan kepada atlet rasional dan atlet merasa bias mencapai dengan tidak mudah. “Challenging but reachable”.

k. Prilaku Juara.
Teknik ini merupakan teknik yang baik untuk diterapkan pada atlet-atlet nasional yang siap untuk bertanding membela negara karena semua anggota tim biasanya dipilih dari atlet-atlet yang menjadi juara nasional. Teknik ini pernah digunakan oleh mantan Ketua Umum KONI Pusat, Wismoyo Arismunandar dengan menyatakan:”Kalau andaingin menjadi juara, maka hiduplah seperti juara, berperilakulah seperti juara, disiplinlah seperti juara, dan bertandinglah seperti juara” dengan teknik ini atlet merasakan bahwa dirinya adalah duta bangsa yang terpilih untuk membela kehormatan bangsa dan negara.




DAFTAR PUSTAKA
Darajat Zakiah. 1982. Kesehatan Mental. Gunung Agung; Jakarta
Davies, D. & Amstrong, M., (1989) Psychological Factors in competitive sport. The Falmer Press. Philadelpha
Harsono. 1988. Coaching dan Aspek-aspek Psikologi dalam Coaching. CV. Tambak Kusuma
Sudibyo, Setyobroto.2001. Mental Training.Jakarta:Percetakan “SOLO”
________________,2002.Psikologi Olahraga,.Jakarta:Unit Percetakan Universitas Negeri Jakarta
Wann, D.J. (1997) Sport Psychology. Upper Saddle River, New Jersey
Whitehead, J.R. (1995). Physical Activity and Intrinsic Motivation. PCPFS Research Digest. 1 (2): 26-86